Ketika Kultur dan Musik Punk Membuat Monarki Inggris Jadi Gerah

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 9 Juli 2022 | 11:00 WIB
Sampul gambar lagu God Save the Queen karya grup band punk rok Sex Pistols tahun 2010. Lagu ini berisi kritikan terhadap monarki Inggris dan Ratu yang dinilai tak acuh terhadap nasib Inggris. (Andrew Stawarz/Flickr)

Nationalgeographic.co.id - "Bersuara seperti mesin pemotong rumput." Begitulah Stereo Review (kini Sound & Vision), media musik dan kultur berbasis di AS, memandang album New York Dolls tahun 1973 karya grup musik dengan nama yang sama. Album itu berisi musik rok dan punk, dan mendapat ulasan baik dalam ulasan Billboard.

Jelas, semua orang tahu seperti apa suara musik punk dimainkan. Apa lagi suara riff gitarnya yang tajam dan sulit diatur, didorong dengan pukulan drum dan bassline yang keras dan tegas, serta vokalnya yang kasar dengan lirik meneriakan suatu agenda. Jenis musik mereka berkembang dari rok garage.

Saat itu, punk masih muda-mudanya jadi kultur anak muda di Amerika, kemudian menular ke seluruh dunia. Di Inggris, bahkan, terdapat lonjakan yang tinggi di akhir 1970-an dan awal 1980an. Lonjakan itu tidak hanya pada musik, tetapi juga ideologi yang melahirkan sastra, puisi, mode, dan pembangkangan politik.

Simon Ingram dari National Geographic Inggris Raya mengisahkan bagaiman punk begitu disegani. Lewat artikelnya "What was punk – and why did it scare people so much?," ia mengisahkan punk pernah bergelora di Inggris, sampai-sampai mengganggu monarki yang berkuasa.

"Kata punk pada awalnya merupakan istilah kuno untuk pelacur--'Puncke' digunakan oleh Shakespeare seperti itu dalam Measure by Measure, walau ambigu--dan kemudian menjadi istilah slang umum dan segala jenis penjahat, atau karismatik, tidak berguna, ancaman terhadap otoritas [...]," tulis Ingram.

Pertengahan dekade 1970-an, Inggris sedang berada titik penurunan ekonomi dan marak kerusuhan sipil. Polisi bentrok dengan publik di jalanan, perselisihan umum terjadi, resesi ekonomi, jatuhnya kekuasaan Inggris dari berbagai koloni, harga-harga semakin mahal. Secara sosial, mogok kerja menghiasi setiap halaman surat kabar.

Di sinilah punk muncul sebagai kultur anak muda. Budaya ini jadi tandingan atas budaya lainnya. Punk jadi jalan bagi masyarakat, khususnya anak muda, yang kehilangan haknya untuk mengartikulasikan rasa frustrasi terhadap negara yang menggoda.

Baca Juga: Bagaimana Musik Punk Jadi Kultur Anak Muda dan Pesan Ideologis?

Baca Juga: Skateboarding: Rahasia di Balik Papan Luncur Jadi Budaya Anak Muda

Baca Juga: Bagaimana Budaya Barat Menjadi Ajang Anak Muda Menyinggung Orde Baru?

Baca Juga: Label Bimbingan Orang Tua: Keprihatinan Ibu pada Gaya Musik Rok

"Punk rok, ketika tiba, mengganggu, singkat dan kasar, dengan pertunjukan langsung yang tidak terduga dan kacau yang terkadang menyulut kerumunan yang terpendam menjadi kekerasan," lanjut Ingram. "Lirik sering dipolitisasi atau kritis terhadap apa yang semakin dilihat sebagai negara yang dijalankan oleh institusi misterius dan regresif."

Grup musik anti-materialistis berkembang muncul saat itu, salah satunya adalah Sex Pistols. Sex Pistols ditantang oleh Bill Grundy, presenter televisi BBC. Grundy bertujuan untuk menguji kebenaran anti-materialistis mereka dengan memberikan 40.000 poundsterling.

John Lydon alias Johnny Rotten, vokalis Sex Pistols mengucapkan sumpah serapah di dalam siaran, yang tentu saja bertentangan dengan kebijakan BBC. Akibatnya, band itu jadi sangat terkenal, tetapi karier Grundy merosot.

Ingram menulis, anggota Great London Council Bernard Partridge memandang grup band ini sebagai "antitesis umat manusia,' dan mengatakan bahwa punk rok secara luas merupakan hal yang 'memuakkan, menjijikkan, merendahkan, mengerikan, busuk, cabul, bejat [...] saya pikir sebagian besar dari kelompok-kelompok ini akan jauh lebih baik kalau mati mendadak."

Penampilan grup punk Sex Pistols di Saddleworth Civic Hall, Inggris pada 4 Februari 2017. (Man Alive!/Flickr)

1977, Sex Pistols membuat lagu "God Save the Queen". Band itu membantah rekaman ini adalah aksi yang direkayasa oleh Malcolm McLaren manajer mereka yang pernah jadi promotor New York Dolls.

Lagu itu menggunakan potret Ratu Elizabeth II dengan peniti di bibirnya dengan lengan rekaman yang menggambarkan huruf seperti tebusan di atas mata dan mulutnya. Sontak, lagu ini dilarang oleh BBC, tetapi malah membuatnya semakin populer. Pihak Kerajaan Inggris gerah, membuat Sex Pistols makin disorot oleh para pendukung monarki.

Lydon yang menulis liriknya, berpendapat bahwa lagu ini disalahpahami. Lagu itu sebenarnya adalah gagasan untuk marah tentang ketidakpedulian Ratu terhadap penduduk dan sikap acuh tak acuh dan ketidakpedulian kepada kita sebagai manusia.

Tahun 2022, di Metro.co.uk, dia menyatakan "Saya tidak memiliki permusuhan terhadap salah satu keluarga kerajaan. Tidak pernah. Institusinyalah yang mengganggu saya dan asumsi bahwa saya harus membayar (pajak) untuk itu."

7 Juni 1977, Ratu Elizabeth II sedang siap-siap merayakan yibelium perak, 25 tahun kekuasaan, dengan menyusuri Sungai Thames. Sex Pistols di bawah perusahaan Virgin Records sepakat untuk membuat label rekaman berjudul Anarchy in the UK.

Untuk promosi itu, band berlayar juga di sungai dari Westminster ke Tower Bridge dengan pesta perahu kecil. Mereka memulai pesta itu dengan lagu "Anarchy in the UK", "God Save the Queen", "No Feelings", "Pretty Vacant", dan "No Fun". Polisi segera mendatangi pesta perahu Sex Pistols dan melakukan penangkapan.

Beberapa tahun berikutnya, gerakan punk merosot seiring membaiknya kondisi ekonomi di Inggris. Punk kemudian menjadi bagian lagu arus utama sejak 1980-an, berikut dengan kultur mereka.