Demi Status Sosial di Masa Kolonial, Perjalanan Haji Berisiko Ditempuh

By Galih Pranata, Sabtu, 9 Juli 2022 | 15:00 WIB
Umat muslim berkumpul di depan ratusan tenda di kota suci Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji. (Samuel M. Swemer/National Geographic Creative)

Perjalanan laut para penumpang haji sangat sukar untuk dibayangkan. Mereka rela terombang-ambing di laut dengan sejumlah resikonya untuk dapat menyandang gelar sosial sebagai muslim yang baik. Segala cara dan resiko pun diambil.

Tantangan lain yang mengadang para jemaah juga pernah dilaporkan dalam surat kabar lawas berbahasa Belanda. Catatan kolonial di tahun 1893, menyebut tentang adanya badai besar yang menyerang sebuah pelgrimschip (kapal haji) dalam perjalanan dari Aden ke Jawa.

Akibat musibah dari kejadian nahas yang menimpa pelgrimschip itu membuat kapal tenggelam. Menyisakan duka mendalam akibat meninggalnya ratusan penumpang haji dan barang-barang bawaan (oleh-oleh haji) dari tanah suci berupa peti-peti, hanyut di atas kedalaman laut.

Tak berhenti di situ, musibah lain juga pernah dikabarkan menimpa para jemaah haji selama berlayar. Adanya berita tersebarnya wabah penyakit kolera yang pernah menggegerkan Hindia Belanda. Adanya wabah penyakit itu terjadi karena pola hidup kurang bersih di dek kapal yang berjubel para jemaah.

Jemaat haji dari Makassar dan Selayar sekitar 1890-an. (KITLV 90574)

Biarpun beresiko, propaganda hoe verder van Mekka, hoe beter moslim tetap mendorong minat pribumi muslim untuk berangkat ke tanah suci. "Meski terkadang fluktuatif angka keberangkatannya, tetapi stabil setiap tahunnya," pungkas Dawam.