Demi Status Sosial di Masa Kolonial, Perjalanan Haji Berisiko Ditempuh

By Galih Pranata, Sabtu, 9 Juli 2022 | 15:00 WIB
Umat muslim berkumpul di depan ratusan tenda di kota suci Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji. (Samuel M. Swemer/National Geographic Creative)

Nationalgeographic.co.id—Bagaimanapun, para agen-agen Belanda menerapkan propaganda dengan dalih hoe verder van Mekka, hoe beter moslim (orang yang sudah berhaji ke Mekah, dialah muslim yang lebih baik).

Agen-agen Belanda pun telah mendesain agar orang-orang yang telah pulang dari ibadah hajinya, diberikan penghormatan dan diperlakukan layaknya seorang agamis yang disegani. Mereka menciptakan stigma dalam status sosial di masyarakat muslim Hindia Belanda kala itu. 

"Pengalaman berhaji dapat menentukan kadar keislaman seseorang," tulis Dawam Multazamy Rohmatullah dalam jurnal Qalamuna berjudul "Perjalanan Haji Indonesia di Masa Kolonial" yang terbit pada Juli 2017.

Hal itu lantas melecutkan keinginan para bangsawan kaya pribumi yang beragama Islam untuk menunaikan ibadah haji. Bagaimana tidak, para agen Belanda yang ingin dilarisi travel hajinya, sukses besar menanam paradoks muslim kala itu.

Meski dengan biaya yang tidak murah, perjalanan haji ke tanah suci tetap ditempuh. Sebelum marak perjalanan cepat via laut, perjalanan haji dilakukan dengan sepeda sejak abad ke-19. Kemudian, mereka mulai menggunakan kapal-kapal dagangnya menjelang akhir abad ke-19.

Menurut Dawam, perjalanan dengan kapal dagang hanya mengandalkan kekuatan tiupan angin laut, maka perjalanan haji dari Nusantara ke pelabuhan Aden memerlukan waktu selama kurang lebih lima bulan lamanya.

Kapal dagang yang mengangkut banyak jemaah haji juga dianggap punya fasilitas yang kurang memberikan kenyamanan. Dalam satu kabin yang sesak, berjubel para jemaah haji dengan semangatnya berlayar selama beberapa bulan di laut lepas dengan harapan menjadi haji mabrur.

Ada hal yang lebih mengenaskan lagi, dalam dek kapal dagang itu, mereka tak punya pilihan tempat lain untuk buang hajat. "Keperluan buang hajat kecil dan besar pun dilakukan di tempat mereka duduk," tambahnya.

Lebih parah lagi, para nahkoda kapal dagang tidak selamanya menjalankan tugas dengan baik. Tercatat, dalam beberapa kali perjalanan haji, mereka kerap terlibat perkelahian dengan para penumpang hajinya. Hal itu disinyalir akibat sikap jahat nakhoda yang beberapa kali membuat barang-barang penumpang ke laut. 

 Baca Juga: Trauma Perang Jawa, Kolonial Belanda Membatasi Orang Jawa Naik Haji

 Baca Juga: Cerita Para Jamaah Haji Perempuan Menyusuri Jalur Rempah ke Kota Suci

 Baca Juga: Koin-Koin Arab Kuno Ungkap Aksi Keji Perompak Kapal Rombongan Haji

Perjalanan laut para penumpang haji sangat sukar untuk dibayangkan. Mereka rela terombang-ambing di laut dengan sejumlah resikonya untuk dapat menyandang gelar sosial sebagai muslim yang baik. Segala cara dan resiko pun diambil.

Tantangan lain yang mengadang para jemaah juga pernah dilaporkan dalam surat kabar lawas berbahasa Belanda. Catatan kolonial di tahun 1893, menyebut tentang adanya badai besar yang menyerang sebuah pelgrimschip (kapal haji) dalam perjalanan dari Aden ke Jawa.

Akibat musibah dari kejadian nahas yang menimpa pelgrimschip itu membuat kapal tenggelam. Menyisakan duka mendalam akibat meninggalnya ratusan penumpang haji dan barang-barang bawaan (oleh-oleh haji) dari tanah suci berupa peti-peti, hanyut di atas kedalaman laut.

Tak berhenti di situ, musibah lain juga pernah dikabarkan menimpa para jemaah haji selama berlayar. Adanya berita tersebarnya wabah penyakit kolera yang pernah menggegerkan Hindia Belanda. Adanya wabah penyakit itu terjadi karena pola hidup kurang bersih di dek kapal yang berjubel para jemaah.

Jemaat haji dari Makassar dan Selayar sekitar 1890-an. (KITLV 90574)

Biarpun beresiko, propaganda hoe verder van Mekka, hoe beter moslim tetap mendorong minat pribumi muslim untuk berangkat ke tanah suci. "Meski terkadang fluktuatif angka keberangkatannya, tetapi stabil setiap tahunnya," pungkas Dawam.