Nationalgeographic.co.id—Sejak awal kedatangan Islam ke Nusantara, masyarakat pribumi telah mengidamkan untuk dapat naik haji. Berkembangnya teknologi pelayaran menjadi salah satu moda yang paling banyak mengangkut jamaah haji.
Tatkala Belanda telah sampai ke Nusantara dan menancapkan kolonialismenya di sana, kaum pribumi tetap saja pada pendiriannya untuk turut beribadah haji. Pelbagai cara ditempuh agar bisa menunaikan haji.
Namun, ada fakta menarik tentang keberangkatan para jamaah haji dari Nusantara ke Mekah. Dawam Multazamy Rohmatullah dalam jurnal Qalamuna berjudul Perjalanan Haji Indonesia di Masa Kolonial (2017) menulis tentang hal menarik seputar haji di masa kolonial.
Ia menyebut bahwa keberangkatan haji ke Mekah selalu dalam jumlah yang kebih besar daripada ketika mereka kembali ke Nusantara. Dalam arti, mereka memutuskan untuk berlama-lama di Mekah daripada harus kembali lagi ke Nusantara.
Di masa kolonial, slogan propaganda terus berkembang di masyarakat. Slogan yang berbunyi hoe verder van Mekka, hoe beter moslim (orang yang sudah berhaji ke Mekah, dialah muslim yang lebih baik).
Hal itu lantas melecutkan keinginan para bangsawan kaya pribumi yang beragama Islam untuk menunaikan ibadah haji. Bagaimana tidak, para agen Belanda yang ingin dilarisi travel hajinya, sukses besar menanam paradoks muslim kala itu.
Biarpun beresiko, propaganda hoe verder van Mekka, hoe beter moslim tetap mendorong minat pribumi muslim untuk tetap berangkat ke tanah suci. "Meski terkadang fluktuatif angka keberangkatannya, tapi stabil setiap tahunnya," pungkas Dawam.
Setiap tahunnya, ada banyak jumlah jamaah yang berangkat ke tanah suci. Namun, berbeda saat mereka kembali lagi ke Nusantara dengan jumlah yang lebih sedikit. Snouck Hurgronje pernah melakukan riset tentang problematika ini.
Perbedaan jumlah berangkat dan pulangnya para jamaah, dapat dilihat dari Indisch Staatsblad tahun 1859 no.42. Staatsblad (berita) itu menyebut bahwa di tahun 1859, ada 12.985 jamaah yang berangkat, sedangkan hanya 5.594 jamaah yang kembali lagi ke Hindia Belanda.
Hal ini sejalan dengan riset Hurgronje. Ia menulis dalam hasil risetnya bahwa "selain motivasi untuk menetap demi memperdalam ilmu agama, ada pula rasa tak ingin kembali ke Nusantara akibat adanya pemerintahan kolonial yang mengekang."
Dawam memaparkan temuan riset Hurgronje dalam jurnalnya bahwa "kejenuhan atau kekecewaan bagi para jamaah akibat pemerintahan Hindia Belanda, jadi satu alasan kuat mereka ingin lebih lama atau menetap di Mekah."
Alasan ini dikuatkan dalam tulisan Dawam. Bagaimana tidak, kepayahan masyarakat pribumi jadi argumentasi tidak kembalinya mereka ke Nusantara. Seperti lari dari derita, mereka lebih memilih hidup damai di tanah rantau.
Source | : | Jurnal Qalamuna |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR