Persembahan untuk Zeus, Atlet Olimpiade Kuno Berlaga Tanpa Busana

By Sysilia Tanhati, Jumat, 29 Juli 2022 | 16:00 WIB
Berbeda dengan Olimpiade di masa kini, atlet Olimpiade kuno berlaga tanpa busana. Salah satu alasannya adalah mempersembahkan kecakapan fisik untuk Zeus. (Euphiletos Painter)

Siapa pun yang pertama kali menggagasnya, pada akhir abad ke-8 Sebelum Masehi, telanjang menjadi aturan Olimpiade.

Di sisi lain, kebiasaan ini juga sejalan dengan tradisi Yunani. Mereka membayar upeti kepada dewa melalui tampilan kecakapan fisik.

Acara khusus laki-laki

Olimpiade kuno merupakan sebuah acara yang hanya terbuka untuk warga negara laki-laki yang lahir bebas. Tidak ada pertandingan untuk wanita, bahkan wanita yang sudah menikah dilarang untuk menonton.

Olimpiade kuno diadakan setiap empat tahun antara 6 Agustus dan 19 September selama festival keagamaan untuk menghormati Zeus. Pertandingan ini dinamai berdasarkan lokasinya di Olympia. Ini merupakan sebuah situs suci yang terletak di dekat pantai barat semenanjung Peloponnese di selatan Yunani.

    

Baca Juga: Kuak Tabir Mengerikan Kanibalisme dalam Mitologi Yunani Kuno

Baca Juga: Milos: Legenda Gulat Yunani Kuno dan Manusia Terkuat dalam Sejarah

Baca Juga: Gulat Sebagai Olahraga Ekstrem yang Populer di Era Yunani Kuno

Baca Juga: Kita Telah Kehilangan Jejak Budaya Yunani Kuno Selama 500 Tahun!

    

Pertandingan dimulai dengan prosesi yang berangkat dari kota tuan rumah Elis ke Olympia. Prosesi ini dipimpin oleh Hellanodikai (hakim). Setibanya di Olympia, semua atlet dan pejabat bersumpah untuk mengikuti aturan yang ditetapkan dari kompetisi. Mereka bersaing dengan kehormatan dan menghormati. Bagian terpenting dari upacara itu adalah pengurbanan 100 lembu di altar Zeus. Pengurbanan ini dilakukan setelah pertandingan selesai.

Uniknya, wanita muda dan gadis remaja boleh menonton pertandingan dengan ayah mereka. “Para ayah membawa putrinya ke pertandingan dengan harapan agar mereka menikah dengan juara Olimpiade,” tulis Stefan Lovgren di National Geographic.

Pemenang Olimpiade dianggap sebagai manusia setengah dewa. Mereka mendapatkan prestise dan kekayaan yang luar biasa dari kemenangan Olimpiade. Saking besarnya, si pemenang tidak perlu lagi bekerja untuk membiayai hidupnya. “Ia pun menjadi bagian dari sejarah yang akan terus dikenang,” imbuh Lovgren.

   

Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo