Nationalgeographic.co.id—Pada puncaknya pada tahun 1500-an, Kekaisaran Utsmaniyah atau Ottoman adalah salah satu kekuatan militer dan ekonomi terbesar di dunia. Imperium mengendalikan wilayah yang tidak hanya mencakup basisnya di Asia Kecil tetapi juga sebagian besar Eropa tenggara, Timur Tengah, dan Afrika Utara.
Kekaisaran menguasai wilayah yang membentang dari Danube ke Sungai Nil. Kekuasaan tersebut didukung dengan militer yang kuat, perdagangan yang menguntungkan, dan pencapaian yang mengesankan di berbagai bidang mulai dari arsitektur hingga astronomi.
Namun kejayaan tersebut tidak bertahan lama. Meskipun Kekaisaran Utsmaniyahn bertahan selama 600 tahun, tapi pada akhirnya menyerah pada apa yang kebanyakan sejarawan gambarkan sebagai penurunan yang panjang dan lambat.
Meskipun ada upaya untuk memodernisasi. Akhirnya, setelah berperang di pihak Jerman dalam Perang Dunia I dan menderita kekalahan, kekaisaran dilucuti oleh perjanjian dan berakhir pada tahun 1922.
Ketika Sultan Utsmaniyah terakhir, Mehmed VI digulingkan dan meninggalkan ibu kota Konstantinopel (sekarang Istanbul) menggunakan kapal perang Inggris. Dari sisa-sisa Kekaisaran Utsmaniyah muncul negara modern Turki.
Meski ada banyak faktor menurut sejarawan yang menyebabkan runtuhnya Kekaisaran Utsmaniyah. Para sejarawan memang tidak sepenuhnya setuju dengan berbagai faktor tersebut. Tapi mereka sepakat, berpihak pada Jerman dalam Perang Dunia I mungkin merupakan alasan paling signifikan atas runtuhnya Kekaisaran Utsmaniyah.
Sebelum perang, Kekaisaran Utsmaniyah telah menandatangani perjanjian rahasia dengan Jerman, yang ternyata merupakan pilihan yang sangat buruk.
Dalam konflik berikutnya, tentara kekaisaran melakukan kampanye brutal dan berdarah di semenanjung Gallipoli untuk melindungi Konstantinopel dari invasi pasukan Sekutu pada tahun 1915 dan 1916.
Pada akhirnya, kekaisaran kehilangan hampir setengah juta tentara, kebanyakan dari mereka karena penyakit. Ditambah sekitar 3,8 juta lebih yang terluka atau jatuh sakit. Pada Oktober 1918, kekaisaran menandatangani gencatan senjata dengan Inggris Raya, dan mundur dari perang.
Jika bukan karena perannya yang menentukan dalam Perang Dunia I, beberapa bahkan berpendapat bahwa kekaisaran mungkin akan bertahan.
Mostafa Minawi, seorang sejarawan di Cornell University, percaya bahwa Kekaisaran Utsmaniyah memiliki potensi untuk berkembang menjadi negara federal multi-etnis dan multi-bahasa modern.
Sebaliknya, menurutnya, Perang Dunia 1 memicu disintegrasi kekaisaran. "Kekaisaran Utsmaniyah bergabung dengan pihak yang kalah," katanya, dikutip dari History.
Akibatnya, ketika perang berakhir, "Pembagian wilayah Kekaisaran Utsmaniyah diputuskan oleh para pemenang."
Di sisi lain, sebelum Perang Dunia 1, Kekaisaran Utsmaniyah telah mengalami kemunduran dan terlambat mengikuti modernisasi. Kekaisaran yang masih sangat bergantung pada pertanian ketika revolusi industri melanda Eropa pada 1700-an hingga 1800-an.
Baca Juga: Suleiman I dari Utsmaniyah, Pengaruhnya bagi Eropa dan Nusantara
Baca Juga: Konstantinopel Berubah Jadi Istanbul Bukan Saat Direbut Sultan Ottoman
Baca Juga: Melihat Bak Mandi Kuno Dari Marmer Seberat Satu Ton di Turki
Kekaisaran juga tidak memiliki industri dan pabrik untuk bersaing dengan Inggris Raya, Prancis dan bahkan Rusia, menurut Michael A. Reynolds, seorang profesor studi Timur Dekat di Princeton University.
Penduduknya yang berpendidikan rendah juga memperburuk keadaan. Terlepas dari upaya untuk meningkatkan pendidikan di tahun 1800-an, Kekaisaran Utsmaniyah tertinggal jauh di belakang para pesaingnya di Eropa dalam hal literasi.
Sehingga pada tahun 1914, diperkirakan hanya antara 5 dan 10 persen penduduknya yang dapat membaca. "Sumber daya manusia Kekaisaran Utsmaniyah, seperti sumber daya alam, relatif belum berkembang," catat Reynolds.
Itu berarti kekaisaran kekurangan perwira militer yang terlatih, insinyur, juru tulis, dokter, dan profesi lainnya.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi kekaisaran lemah, dan surplus pertanian yang dihasilkannya digunakan untuk membayar pinjaman kepada kreditur Eropa. Ketika tiba saatnya untuk berperang dalam Perang Dunia 1.
Kekaisaran Utsmaniyah tidak memiliki kekuatan industri untuk memproduksi persenjataan berat, amunisi dan besi baja yang dibutuhkan untuk membangun rel kereta api untuk mendukung upaya perang.