Pemprov DKI Jakarta Sengaja Mempersulit Penggunaan Kendaraan Pribadi

By Utomo Priyambodo, Jumat, 5 Agustus 2022 | 13:00 WIB
Sepeda motor dan mobil terjebak macet di jalan layang di Jakarta. (Yunaidi Joepoet)

Nationalgeographic.co.id—Pernahkah Anda merasa lebar jalan raya di Jakarta semakin sempit? Menjadi lebih sempit karena sebagian ruasnya diambil untuk dibangun jalur pedestrian dan jalur bersepeda?

Ternyata hal itu memang sengaja dilakukan oleh Pemerintah Provinisi DKI Jakarta demi mengurangi jumlah penggunaan kendaraan pribadi. Mereka berharap, berkurangnya jumlah penggunaan kendaraan pribadi pada akhirnya akan mengurangi tingkat polusi udara di Jakarta.

Bagi Pemprov DKI Jakarta, prioritas pertama penanganan transportasi di wilayah DKI Jakarta adalah untuk para pejalan kaki. Kedua, untuk kendaraan ramah lingkungan seperti sepeda. Ketiga, untuk angkutan umum. Dan keempat barulah untuk kendaraan pribadi.

Jadi, Pemprov DKI Jakarta menegaskan: pejalan kaki adalah prioritas utama, kendaraan pribadi terakhir. Hal itu disampaikan oleh Kepala Humas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Yogi Ikhwan, dalam acara lokakarya media bertajuk yang diadakan Clean Air Catalyst di Jakarta, pada 2-4 Agustus 2022.

Urutan prioritas ini bukan tanpa alasan. Pemprov DKI Jakarta sedang berupaya keras untuk menurunkan tingkat polusi udara dengan mengurangi sumbernya. Mereka telah memetakan sumber polusi di ibu kota.

Berdasarkan hasil inventarisasi emisi yang telah dilakukan oleh DLH DKI Jakarta dan Vital Strategies pada tahun 2020 dengan menggunakan data tahun 2018, sektor transportasi adalah penyumbang polusi udara terbesar di wilayah DKI Jakarta.

Sektor transportasi menjadi kontributor terbesar polusi udara di ibu kota terutama untuk polutan NOx (72,4%), CO (96,36%), PM10 (57,99%), PM2,5 (67,04%), BC (84,48%), dan NMVOC (98,5%). Adapun penyumbang polusi SO2 didominasi oleh sektor industri manufaktur (61,96%). Sektor-sektor yang diperhitungkan dalam inventarisasi ini adalah sektor industri energi atau pembangkit listrik, industri manufaktur, transportasi, residensial, dan komersial.

Sektor-sektor penyumbang polusi udara di Jakarta. (Dinas Lingkungah Hidup DKI Jakarta)

Upaya inventarisasi emisi tersebut merupakan respons Pemprov DKI Jakarta terhadap berkembangnya isu polusi udara di Jakarta pada 2019. Pada tahun tersebut, Jakarta sempat diberitakan sebagai kota dengan polusi udara terburuk di dunia versi IQAir. Lalu pada tahun yang sama juga ada gugatan soal polusi udara Jakarta yang diajukan oleh Koalisi Ibu Kota ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Belakangan, pada 2021, Majelis Hakim mengabulkan sebagian gugatan tersebut. Lima pejabat negara divonis bersalah atas pencemaran udara di ibu kota, yakni Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, dan Gubernur Provinsi DKI Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, tidak melakukan banding atas putusan tersebut demi memperbaiki kualitas udara di Jakarta. Setahun sebelum keluarnya putusan pengadilan itu, Pemprov DKI Jakarta telah mulai memetakan masalah kualitas udara di ibu kota dengan menginventarisasi sumber emisi udara di Jakarta.

Berpegang pada hasil inventarisasi emisi tersebut, Pemprov DKI Jakarta kemudian menetapkan kebijakan untuk mempersulit penggunaan kendaraan pribadi. Yogi Ikhwan menjelaskan ada sejumlah disinsentif yang diberikan dan/atau akan diberikan kepada para pengguna kendaraan pribadi yang melalui wilayah ibu kota.

Pemprov DKI Jakarta telah mewajibkan seluruh kendaraan bermotor untuk uji emisi. Setiap kendaraan di Jakarta yang belum uji emisi dan/atau belum lulus uji emisi bakal ditilang oleh pihak kepolisian. Polda Metro Jaya belum menegakkan aturan ini atau belum mulai menilang kendaraan yang belum uji emisi dengan alasan masih dalam kondisi pandemi, kata Yogi.

Baca Juga: Termasuk Jakarta, Kematian Dini di Kota-kota Tropis Disebabkan Polusi

Baca Juga: Studi Baru: Kaitan Polusi Udara Dengan Gejala Depresi Pada Remaja

Baca Juga: Sesar Baribis di Jakarta Selatan Aktif dan Bisa Sebabkan Gempa Besar

Lalu ada pula disinsentif lain berupa bakal dikenakannya pajak kendaraan (biaya perpanjang STNK) yang lebih besar, karena ditambah denda, untuk setiap kendaraan di Jakarta yang belum uji emisi. Penerapan kebijakan ini rencananya bakal dimulai sejak Desember 2022.

Kemudian ada pula disinsentif lain berupa tarif parkir yang lebih besar bagi kendaraan yang belum uji emisi. Hal ini telah ditetapkan oleh Pasal 17 dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Daerak Khusus Ibukota Jakarta Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor, yang isinya adalah berikut:

"Setiap pemilik Kendaraan Bermotor yang tidak melakukan uji emisi gas buang dan/atau tidak memenuhi ketentuan lulus uji emisi gas buang dikenakan disinsentif berupa pembayaran parkir tertinggi mengacu pada Peraturan Gubernur mengenai tarif layanan parkir di ruang milik jalan dan/atau luar ruang milik jalan."

Pengenaan disinsentif parkir akan diterapkan di 79 lokasi parkir milik pemerintah daerah Jakarta dan telah diawali di 6 lokasi, yaitu pelataran parkir Blok M, IRTI, Samsat Jakarta Barat, Parkir Pasar Mayestik, Ruko Interkon Jakbar, dan Park and Ride Terminal Kalideres.

Jadi, jika tak ingin membayar biaya parkir yang lebih besar setiap harinya (dan selanjutnya juga biaya pajak kendaraan yang lebih besar serta biaya tilang terkait emisi gas buang kendaraan), setiap pengguna kendaraan pribadi harus melakukan uji emisi kendaraan bermotornya setiap setahun sekali dan itu menggunakan biaya sendiri. Hal itu tertuang dalam Pergub yang sama. Biaya uji emisi untuk per unit mobil bisa mencapai Rp250 ribu, sedangkan untuk motor bisa mencapai Rp100 ribu.

Lebih lanjut, Pemprov DKI Jakarta juga bakal memastikan tidak ada kendaraan pribadi berusia lebih dan 10 (sepuluh) tahun yang dapat beroperasi di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2025. Hal ini tertuang dalam Instruksi Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 66 Tahun 2019 Tentang Pengendalian Kualitas Udara.

"Jadi, (menggunakan kendaraan pribadi di Jakarta) makin ribet aja, kan?" tanya Yogi retoris.

Kebijakan-kebijakan yang mempersulit penggunaan kendaraan pribadi ini bertujuan agar lebih banyak orang beralih ke penggunaan kendaraan umum atau bahkan bersepeda atau berjalan kaki. "Kami, dan terutama Pak Anies, menganggap kaki itu sebagai alat transportasi utama," tegas Yogi.

Namun, di luar dari segala macam disinsentif tersebut, Pemprov DKI Jakarta berharap masyarakat beralih ke berjalan kaki, bersepeda, atau ke angkutan umum adalah atas kesadaraan dan kecintaan lingkungan sendiri. Demi mengurasi emisi polusi udara. Demi mewujudkan udara ibu kota yang lebih segar dan langit Jakarta yang selalu biru.