Tato Polinesia sebagai Kanvas Komunikasi Budaya Antar Generasi

By Sysilia Tanhati, Senin, 8 Agustus 2022 | 16:00 WIB
Bukan sekedar gambar di permukaan kulit, tato memiliki makna mendalam. Di Polinesia, tato menjadi kanvas komunikasi budaya antar generasi. (Thomas Andrew)

Nationalgeographic.co.id—“Ta-tau, ta-tau, ta-tau,” suara alat tato tradisional Polinesia bergema saat tulang setajam jarum menembus kulit. Warisan tatau Polinesia, nama onomatope untuk praktik tato, dimulai 3.000 tahun yang lalu. Desainnya beragam seperti orang-orang yang memilikinya. Segitiga Polinesia mencakup lebih dari seribu pulau individu di Samudra Pasifik Selatan. Ini membentuk beberapa lusin kelompok budaya, yang sebagian besar memiliki tradisi tato mereka sendiri yang berbeda. Bukan sekedar gambar di permukaan kulit, tato memiliki makna mendalam. Di Polinesia, tato menjadi kanvas komunikasi budaya antar generasi.

Di seluruh dunia, tato menjadi populer dan tidak lagi ditutup-tutupi dengan pakaian. Belakangan, tradisi tato suku-suku pribumi di berbagai daerah pun bermunculan. Tahun 2021, jurnalis Māori dengan tato wajah tradisional menjadi pembawa acara program berita primetime di televisi Selandia Baru.

Keunikan desain tato Polinesia menginspirasi wisatawan, termasuk Jill K. Robinson, penulis National Geographic, untuk memiliki tanda mata permanen.

Namun sebagai pelancong, seseorang harus mempertimbangkan perbedaan antara menghormati dan mengambil budaya. Bagaimana seharusnya pelancong, yang bukan bagian dari budaya tertentu, mendapatkan tato dengan hormat?

Pasalnya, praktik tato terjalin dengan cara hidup Polinesia. “Diperlukan pendekatan penting untuk mempertimbangkan makna di balik tujuan tato dan komunikasi dengan sang seniman,” ungkap Robinson.

Tato menceritakan kisah hidup seseorang

Setiap tato memiliki keunikannya masing-masing. “Saya bertanya kepada klien tentang diri mereka, kisah, dan apa yang diinginkan untuk diwakili oleh tato tersebu,” kata Eddy Tata, seniman tato Marquesan.

“Saat mereka berbicara, saya sudah membuat desain di kepala saya. Jika klien menunjukkan gambar kepada saya, menginginkan desain yang persis seperti itu, saya tidak akan menyalinnya. Meniru sesuatu yang dipersonalisasi adalah bentuk apropriasi—seperti mencuri cerita orang lain. Saya menjelaskannya saat saya mengadaptasi desain sehingga sesuai dengan narasi klien,” Tata menjelaskan.

Biasanya, seniman tato menggambar stensil tato di atas kertas dan mentransfernya ke kulit. Namun banyak seniman Polinesia membuat sketsa desain langsung di tubuh dengan pena. Sketsa tangan bebas itu memungkinkan fleksibilitas untuk membentuk komposisi unik.

Meskipun ada sumber online yang mencantumkan arti dari berbagai gambar dan pola, banyak informasi yang tidak akurat. Itulah sebabnya mengapa sangat penting untuk berkomunikasi dengan seniman tentang tujuan di balik tato.

Bagi banyak orang, tato memiliki makna yang dalam dan secara pribadi terhubung dengan mereka. Karena sejarah tato sebagai kanvas untuk garis keturunan dan prestasi keluarga, tidak semua desai bisa digunakan oleh orang lain. Desain tertentu dijaga secara tradisional.

Selain itu, kelompok pulau yang berbeda memiliki tradisi panjang tentang di mana tato ditempatkan di tubuh. Seperti prajurit Tonga, yang tatonya ditempatkan dari pinggang hingga lutut.

“Setiap tato yang saya buat membutuhkan waktu tiga tahun. Dimulai ketika saya memikirkannya hingga menemukan seniman yang tepat,” kata Tahiarii Yoram Pariente, seorang budayawan Polinesia.

Rasa sakit dan simbolisme dalam proses tato sangat internal. Apa yang dirasakan atau dilihat belum tentu sama dengan orang lain. Orang tidak secara otomatis memahami cerita Anda hanya dengan melihat tato Anda.

Tato sebagai komunikasi budaya

Pada zaman kuno, praktik budaya Polinesia diturunkan secara lisan. Selain itu, tato juga berperan dalam transfer pengetahuan dengan tubuh sebagai kanvas.

“Secara tradisional, tatau berfungsi sebagai tanda pengenal atau peringkat sosial, melacak silsilah keluarga, dan mewakili tonggak penting,” kata Samuela kepada Robinson. Orang tua Samuela berasal dari Polinesia Prancis, ibunya dari rantai pulau Marquesas dan ayahnya dari pulau Tahiti.

“Tergantung dari kepulauan tempat Anda berasal, tatau dipraktikkan secara berbeda dan simbol memiliki arti yang berbeda,” tutur Samuela. Misalnya, orang yang tinggal di pulau dengan pegunungan atau atol dengan hanya pohon kelapa. Mereka menggunakan simbol bumi yang berbeda berdasarkan pengalamannya sendiri.

Di banyak pulau Pasifik, praktik budaya tradisional tidak dianjurkan dan langsung dilarang sejak awal kontak Barat. “Tato sering dilakukan untuk menentang kekuatan kolonial. Jadi itu adalah salah satu hal pertama yang coba ditekan oleh pria kulit putih,” kata Tricia Allen, penulis The Polynesian Tattoo Today.

Sementara dalam beberapa dekade terakhir penduduk Kepulauan Pasifik menghidupkan kembali banyak seni tradisionalnya. Bangga dengan warisan budaya, dapat dimengerti mengapa tato bisa menjadi topik sensitif bagi masyarakat adat.

Memaknai perbedaan tato tradisional dan modern

Sebaiknya, seseorang memahami dulu bahwa selalu ada makna dan cerita di balik tato Polinesia. “Tato adalah bagian dari hidup kita. Ini budaya dan bukan mode,” kata Samuela.

Semua pertimbangan itu pada akhirnya bermuara pada menghormati keinginan masyarakat adat. Banyak dari budaya ini hidup dan berkembang. Jika mereka percaya bahwa elemen seni tertentu harus dibiarkan sendiri, kepercayaan itu harus dihormati.

“Orang-orang tidak menyadari perbedaan utama antara tato tradisional dan tato modern adalah budaya. Tato tradisional adalah tanda kesesuaian dengan norma budaya seseorang,” kata Allen. Ini sangat berbeda dari budaya Barat, di mana tato umumnya menandai individualitas.

  

Baca Juga: Tak Selalu Berulah, Tato Menjadi Tanda Hormat Yakuza kepada Budaya

Baca Juga: Tato sebagai Simbol Angkara Kelompok Kriminal di Negara Rusia

Baca Juga: Buckie sampai Dietzel, Orang-Orang yang Mempopulerkan Tato Modern

   

Namun seniman tato berharap agar proses ini tidak menyurutkan minat pelancong akan tato Polinesia. Tata menekankan nilai positif rasa ingin tahu dan peka terhadap asal-usul tradisional tatau. “Jangan takut dengan tato,” katanya. Menurutnya, merupakan suatu kehormatan untuk berbagi budaya saya dengan orang lain. Itu juga menjadi cara untuk membawa budaya ke seluruh dunia.

Robinson menatap desain di kakinya. Bagi orang asing, simbol bergelombang dalam warna hitam mungkin tampak hanya sebagai desain yang indah dari Polinesia. Baginya, ini menceritakan kisah penting dalam hidup. “Hubungan saya dengan air dan pelayaran, serta pekerjaan sebagai penulis yang berbagi cerita tentang orang dan tempat,” tulis Robinson.

Budaya Polinesia dan tato menjadi bagian abadi dari penduduknya. Manusia terlahir telanjang tanpa apa-apa. Selama hidupnya, ia mengumpulkan ingatan. Dan akhirnya ketika mati, semua dilepaskan. “Satu hal yang Anda dapatkan selama hidup Anda yang menyertai Anda setelah mati adalah tato,” imbuh Pariente.

Apa yang terlihat di kulit adalah produk sampingan dari tato. Anda mengukir kisah hidup ke dalam kulit Anda. “Ini menjadi bagian kecil dari keabadian,” Robinson menambahkan.