Nationalgeographic.co.id—Romawi merupakan kekaisaran yang kuat dengan wilayahnya yang membentang dari Eropa hingga Afrika. Kaisar Konstantinus Agung kemudian memindahkan pusat kekaisaran. Selama kepemimpinannya, ia membawa perubahan-perubahan penting pada konstitusi sipil dan religius. Pada tahun 330, Konstantinus Agung mendirikan Konstantinopel sebagai Roma kedua di Bizantium, yang dikenal sebagai Kekaisaran Romawi Timur. Bagaimana kehidupan masyarakat di Kekaisaran Romawi Timur?
Status pria, wanita, dan anak-anak
Sama seperti di Kekaisaran Romawi Barat, masyarakat dibedakan menjadi orang bebas dan budak. Namun, di bawah pengaruh agama Kristen, Bizantium tampil lebih berperikemanusiaan jika dibandingkan dengan Romawi Barat.
Penyiksaan parah pada budak bisa menyebabkan seorang budak dibebaskan. Dalam hal ini, pengadilan gereja Bizantium memiliki yuridiksi tunggal. Gereja Bizantium menyediakan prosedur khusus untuk keluar dari perbudakan sejak zaman Konstantinus Agung (manumissio in ecclesia).
“Wanita tidak diizinkan untuk memegang jabatan publik,” ungkap Giorgos Panagiotopoulos di laman The Collector. Namun mereka dapat menjadi wali sah dari anak-anak dan cucu-cucu mereka.
Pusat kehidupan finansial para perempuan Bizantium adalah mas kawin mereka. Meskipun dapat digunakan oleh suami, secara bertahap berbagai pembatasan penggunaannya disahkan untuk melindungi wanita. Harta benda yang mereka bawa selama perkawinan (hadiah, warisan) juga dikuasai oleh suami. Tetapi harta para istri dijamin dengan cara yang sama seperti mahar.
Wanita menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah untuk mengurus rumah tangga, tetapi ada pengecualian. Ketika sebuah keluarga sedang berjuang secara finansial, istri akan mendukungnya dengan keluar dari rumah dan bekerja. Jenis pekerjaan yang bisa dilakukan antara lain pelayan, pramuniaga, aktris dan bahkan sebagai pelacur.
Contoh nyata dari seorang wanita Bizantium yang bekerja di luar rumah adalah permaisuri Theodora. Dimulai sebagai seorang aktris (dan mungkin seorang pelacur), dia dinyatakan sebagai Augusta. Sang permaisuri bahkan memiliki segel kekaisarannya sendiri setelah suaminya Justinian I naik takhta.
Anak-anak hidup di bawah kekuasaan ayah mereka. Akhir otoritas ayah (patria potestas) dapat berakhir karena beberapa hal. “Misalnya kematian ayah, naiknya anak ke jabatan publik atau prosedur hukum yang berasal dari republik,” tambah Panagiotopoulos. Gereja Bizantium “melobi” alasan tambahan ke dalam undang-undang: menjadi seorang biarawan.
Cinta dan pernikahan
Seperti halnya setiap masyarakat, pernikahan menjadi inti kehidupan Bizantium. Ini menandai penciptaan unit sosial dan keuangan baru, sebuah keluarga.
Bahkan, pernikahan memiliki makna ekonomi khusus di Kekaisaran Bizantium. Mahar pengantin wanita menjadi pusat negosiasi. Orang biasanya tidak menikah karena cinta. Keluarga calon pasangan berusaha keras untuk mengamankan masa depan anak-anak mereka dalam kontrak perkawinan yang dipikirkan dengan matang.
Sejak masa Justinian I, seorang ayah memiliki kewajiban moral untuk memberikan mahar kepada pengantin perempuan. Besarnya mahar merupakan kriteria terpenting dalam memilih istri karena akan mendanai rumah tangga yang baru didirikan. Selain itu, mahal juga menentukan status sosial ekonomi keluarga baru. Tak heran jika hal itu menjadi perdebatan sengit antara kedua keluarga.
Kontrak perkawinan juga akan berisi perjanjian lain yang dilakukan secara finansial. Paling umum, meningkatkan mahar sebanyak setengahnya disepakati sebagai rencana darurat. Ini untuk mengamankan nasib istri dan anak-anak masa depan dalam kasus kematian dini seorang suami. Pengaturan lain yang biasa disebut theoretron. Aturan ini mewajibkan pengantin pria untuk menghadiahi pengantin wanita dalam hal keperawanan dengan seperdua belas dari ukuran mahar.
Ada satu kasus khusus di mana mas kawin tidak diwajibkan. Esogamvria, di mana pengantin pria pindah ke rumah mertuanya. Lalu pasangan baru itu tinggal bersama orang tua pengantin wanita. Bila ini terjadi, pemberian mas kawin tidak diwajibkan. Namun, jika pasangan muda meninggalkan rumah, mereka dapat memintanya.
Di Kekaisaran Bizantium, mengurus masa depan perkawinan anak hingga detail terakhir dianggap sebagai tanggung jawab seorang ayah.
Baca Juga: Di Balik Kepemimpinan Kaisar Romawi, Ada Wanita Kuat dan Berpengaruh
Baca Juga: Lima Kaisar Romawi yang Tangannya Paling Berdarah dalam Sejarah
Baca Juga: Tujuh Hal yang Mungkin Belum Anda Ketahui soal Kaisar Romawi Caligula
Baca Juga: Bar Kokhba, Pemberontak Yahudi yang Gigih Melawan Serangan Romawi
Berbeda dengan batas usia pernikahan di zaman modern, Kekaisaran Romawi Timur memiliki aturan sendiri. Usia minimum legal untuk menikah bagi anak perempuan adalah 12 tahun dan 14 tahun untuk anak laki-laki.
Campur tangan gereja pada perkawinan
Di Kekaisaran Romawi Timur, gereja turut campur dalam aturan perkawinan dan bahkan membuat larangan-larangan tertentu.
Jika pernikahan antar saudara tidak dilarang di Kekaisaran Romawi Barat, lain halnya dengan di Bizantium. Gereja melarang pernikahan antar kerabat dekat dan mereka yang "berafiliasi secara spiritual". Ini berarti orang tua baptis tidak diizinkan untuk menikahi anak baptis mereka.
Bagaimana masyarakat Bizantium menanggapi larangan-larangan yang ditetapkan oleh gereja?
Bagi penduduk yang tinggal di kota-kota besar, terutama Konstantinopel, tampaknya ini bukan masalah besar. Tetapi bagi penduduk pedesaan yang tersebar di seluruh Kekaisaran Bizantium, pembatasan ini menyebabkan masalah sosial yang ekstrem. Bayangkan sebuah desa kecil dengan sedikit penduduk, mereka pasti tidak memiliki banyak pilihan soal siapa yang akan dinikahi.
Di zaman Utsmaniyah, tidak jarang tidak jarang seseorang berpindah agama untuk menghindari mandat gereja. Ironisnya, ini mempermudah terjadinya perceraian dan pernikahan kesekian kalinya.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo