Orang Belanda dalam Perburuan Hewan Buas di Belantara Priangan

By Galih Pranata, Sabtu, 27 Agustus 2022 | 09:00 WIB
Perburuan harimau menjadi kebiasaan orang-orang Belanda dan pribumi di Hindia Belanda. (Kurihara/Tropenmuseum)

Nationalgeographic.co.id—Pegunungan Priangan (tanah Sunda) adalah belantara yang jadi habitat hewan-hewan buas. Belantara itu dihuni sejumlah hewan buas seperti harimau, banteng, badak, hingga babi hutan.

Peter Boomgard dalam bukunya berjudul Paper Landscape: Exploitations in The Environmental History of Indonesia (2001), menyebut Priangan sebagai "tiger nest (sarang harimau) di Pulau Jawa."

Bukan sembarangan Boomgard menyebut Priangan sebagai sarangnya harimau. Tercatat sejumlah korban tewas karena serangan harimau. Seperti yang terjadi pada tahun 1855. Korban jiwa akibat terkaman harimau mencapai "147 orang," tulis Gustaman.

Budi Gustaman menulis dalam jurnal Patanjala berjudul "Sisi Lain Kehidupan Preangerplanters: dari Perburuan hingga Gagasan Konservasi Satwa Liar" yang diterbitkan pada tahun 2019.

Akibat banyaknya korban tewas akibat serangan harimau, banyak koran-koran lawas berbahasa Belanda yang menyebut di Priangan telah terjadi tiger plaag (wabah harimau).

Hal yang memilukan dapat dilihat dari fakta yang dipaparkan Gustaman bahwa "sebagian besar korban tewas akibat terkaman harimau adalah petani dan pekerja yang membuka onderneming—lahan perkebunan—kopi di Priangan."

Mengetahui hal ini, tuan-tuan perkebunan yang notabene adalah orang Belanda, tidak punya alasan lain selain harus memiliki keahlian berburu. Selain berguna untuk proteksi diri, ia juga berupaya untuk melindungi perkebunannya dari bahaya.

Sebut saja Rudolf Kerkhoven, seorang tuan tanah di perkebunan di Buitenzorg (Bogor) yang memimpin aksi perburuan hingga ke belantara Priangan. Ia pernah memimpin perburuan seekor macan tutul di wilayah perkebunannya karena telah menyerang seorang laki-laki di sekitar perkebunannya, Kampung Babakan, Buitenzorg.

"Rudolf menyusuri jejak macan tutul tersebut bersama orang-orang Gambung dan berhasil menembak macan tutul itu hingga mati," imbuh Gustaman.

Perburuan macan Priangan di kawasan Banten sekitar tahun 1941. (Tropenmuseum)

Dengan penuh sorak kegembiraan, macan tutul yang telah terkulai itu diangkut menggunakan bilah bambu. Seperti arak-arakan, macan itu menjadi perhatian orang-orang di sepanjang perjalanan.

 Baca Juga: Lukisan Harimau Raden Saleh: Jejak Nestapa Satwa di Pulau Jawa

 Baca Juga: Konflik Antara Manusia dengan Harimau, Siapa Menyerang Siapa?

 Baca Juga: Misteri Harimau-harimau di Lukisan Raden Saleh Syarif Bustaman

Meskipun perburuan difungsikan untuk melindungi perkebunan dan para pekerjanya dari sambaran hewan buas, orang-orang Belanda di Hindia Belanda awalnya memaknai perburuan sebagai hiburan.

Terkait hal ini, kebiasaan berburu untuk rekreasi telah dilakukan sejak awal 1800 ketika seorang bangsawan Belanda bernama J.F. van Reede tot de Parkeler. Perburuan rekreatif Reede berhenti seiring tumbuhnya industri perkebunan di Jawa.

Menurut Budi Gustama, "sangat wajar jika kebiasaan berburu tumbuh di wilayah perkebunan. Para planters memang begitu dekat dengan alam karena tinggal di daerah pegunungan."

Interaksi dengan satwa liar begitu besar tatkala mereka mengenal satwa-satwa perusak perkebunan yang harus dibunuh. Terlebih, alam pegunungan Priangan banyak dihuni satwa liar yang mengancam.