Nationalgeographic.co.id—Setiap 29 Juli, dunia memperingati Hari Harimau. Sains mengelompokkannya dalam kucing besar. Satwa predator itu kian melangka dan terdesak. Di Indonesia, habitatnya hanya di hutan-hutan Sumatra.
Poster undangan "Bincang Redaksi-30" Edisi Hari Harimau Sedunia menampilkan litografi karya CW. Mieling reproduksi dari lukisan karya Raden Saleh Syarif Bustaman (1811-1880). Lukisan cat minyak pada kanvas itu bertajuk “Kebakaran Padang Rumput” atau judul lainnya "Forest Fire" yang dibuat pada 1849.
Lukisan tersebut menampilkan adegan satwa-satwa yang tunggang-langgang mencari selamat karena hutan—rumah mereka—terbakar hebat. Tampak harimau, banteng, dan banteng yang terdesak sampai di tubir jurang. Tidak ada jalan untuk kembali.
Baca Juga: Catatan Jurnalistik Seorang Ningrat Jawa Kala Bertamu di Rumah Raden Saleh
Raden Saleh yang ditahbiskan sebagai pelopor seni lukis modern di Indonesia ini juga digelari sebagai Juru Gambar Sri Paduka Kanjeng Radja Wolanda. Alang kepalang pelukis yang hidup di dua dunia—Timur dan Barat— kesepian di akhir hidupnya.
Saleh mulai melukis harimau sejak sekitar usia belasan tahun, sebelum ia migrasi ke Eropa. Awalnya, menggambar harimau dianggap sebagai bagian dari latihan melukis realistik.
Ketika di Eropa, Saleh kerap menampilkan satwa-satwa dalam gaya yang romantik, termasuk harimau. Kuat dan trengginas. Namun, sejatinya harimau bukan satwa yang paling digandrungi untuk dilukis oleh Saleh. Bila menilik kesungguhan teknisnya, tampaknya dia lebih serius dan sepenuh hati melukis singa. Namun setelah kuda dan singa, harimau rupanya merupakan binatang ketiga terbanyak yang dilukisnya.
Baca Juga: Alam, Manusia, dan Masa Depan dari Lukisan Raden Saleh
“Binatang, khususnya harimau, bagi pelukis Raden Saleh bukan binatang sembarang,” ungkap Mikke Susanto. “Cermati dan resapi, pernahkah terpikir, mengapa Raden Saleh melukis harimau?”
Ada apa dengan harimau di lukisan-lukisan Raden Saleh? Apakah kucing besar itu memiliki aspek historis, simbolis, atau memori bagi sang maestro itu?
Simak Bincang Redaksi-30 yang digelar atas kerja sama National Geographic Indonesia dan Program Studi S-1 Tata Kelola Seni Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Bersama
Dr. Mikke Susanto, MA.—Ketua Jurusan/Prodi S-1 Tata Kelola Seni FSR-ISI Yogyakarta
Mahandis Yoanata Thamrin—Tuan Rumah Bincang Redaksi, Managing Editor National Geographic Indonesia
Kamis, 29 Juli 2021
19.30 – 21.30 WIB
Silakan mendaftar via pranala bit.ly/bincangredaksi-30
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR