Nationalgeographic.co.id—Penelitian baru dari Comenius University menemukan bahwa sekitar 41 persen remaja mengalami kesulitan membedakan antara pesan atau berita kesehatan asli dan hoaks. Hanya sekitar 48 persen yang lebih mempercayai berita kesehatan yang akurat.
Rincian lengkap penelitian mereka telah diterbitkan di Frontiers in Psychology dan merupakan jurnal akses terbuka.
Laporan tersebut bisa didapatkan secara daring dengan judul "Superlatives, clickbaits, appeals to authority, poor grammar, or boldface: Is editorial style related to the credibility of online health messages?."
Dari penelitian ini, diketahui, bahwa sekitar 41 persen remaja menganggap hoaks dan yang benar sama-sama dapat dipercaya. Mereka sama sekali tidak dapat membedakan yang mana berita hoaks dan bukan.
Sementara, sekitar 11 persen menganggap berita kesehatan netral yang benar kurang dapat dipercaya dibandingkan berita kesehatan hoaks atau palsu.
Hasil tersebut menyoroti kebutuhan akan pelatihan remaja yang lebih baik untuk menavigasi dunia di mana berita kesehatan palsu begitu tersebar luas.
Kesalahan dan disinformasi kesehatan adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius, dengan meningkatnya penyebaran berita kesehatan palsu di platform media sosial dalam beberapa tahun terakhir.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa berita kesehatan daring sebagian besar tidak lengkap dan tidak akurat dan memiliki informasi kesehatan yang berpotensi berbahaya.
Berita kesehatan palsu dapat menyebabkan pilihan kesehatan yang buruk, perilaku pengambilan risiko, dan hilangnya kepercayaan pada otoritas kesehatan.
"Telah terjadi ledakan informasi yang salah di bidang kesehatan selama pandemi Covid-19," kata peneliti utama Radomír Masaryk, dari Comenius University dalam rilis eurekalert.
Sebagian besar penelitian tentang kredibilitas berita difokuskan pada orang dewasa. Masaryk dan rekan-rekannya kini telah menyelidiki apakah remaja siap untuk mengatasi tingginya volume berita kesehatan palsu di internet.