Pelajaran Perjalanan: Semangat Mencintai Alam dari Gunungkidul

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 21 September 2022 | 09:00 WIB
Editor in Chief National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasim dan penjelajah Marshall Sastra berkunjung ke tempat Marsono, pegiat wayang sada. Wayang sada dibuat dengan bahan daur ulang dan sisa-sisa tanaman agar ramah lingkungan dan mengasah kreativitas. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Awalnya, sulit bagi Cahyo membuka tempat ini sebagai tempat destinasi wisata. Ia mencoba memperkenalkan alam bawah tanah yang belum pernah dilihat masyarakat Gunungkidul sebelumnya.

Di dalamnya ada hutan purba yang lestari akibat peristiwa geologis. Kondisi di bawah gua yang jarang dijamah manusia dan sebagian tempat gelap abadi, membuat sebagian besar spesies tumbuhan tidak pernah ada di atas permukaan.

"Bagaimana mau melestarikan kalau enggak kenal?" ujar Cahyo. Perlahan-lahan ia mengembangkan bisnis wisata itu. Peluangnya adalah menarik para pelancong luar negeri terlebih dulu. Kebetulan Yogyakarta kerap disambangi turis. Kemudian, barulah pengunjung lokal ketika sudah begitu dikenal.

Setelah mereka mencoba susur gua, Cahyo memberikan tantangan kepada mereka untuk makan belalang goreng khas Gunungkidul. Tantangan diterima. Didi dan Marshall segera mencari makanan itu setelah keluar dari Gua Jomblang. Rasanya cukup renyah, gurih, dan lumayan pedas mungkin karena bumbu olahannya.

Semburat yang masuk ke dalam Gua Jomblang, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemandangannya yang cantik memukau pengunjung untuk menyambangi dunia yang tersembunyi di bawah bumi. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Tidak hanya pada pengenalan alam yang mengubah pandangan mistis jadi wisata konservasi, sisi kebudayaan masyarakatnya juga berkembang. Setelah berjumpa dengan Cahyo, perjalanan mereka ke Wonosari, tepatnya di kediaman Marsono sebagai pegiat wayang sada.

Wayang sada berbeda dengan yang lain. Seperti namanya sada yang berarti lidi dalam bahasa Jawa. Nama sada memiliki filosofi yang dikembangkan Marsono sendiri: selaras antara dunia dan akhirat.

Lidi yang dipakai untuk membuat sada berasal dari limbah organik yang tak terpakai. Contohnya, daun yang sering dipakai untuk membuat ketupat saat idulfitri, banyak orang membuang batang lidinya. Inilah yang dimanfaatkan Marsono. Dia juga bisa mengemas serat menjadi tali pengikat yang mengeratkan wayang sada.

Pengetahuan pembuatan wayang berbahan tanaman ini didapati saat ia masih anak-anak dan bermain di sawah. Namun, pembuatannya sebagai alat pementasan dan cendera mata baru dilanggengkan sejak tahun 2011, seiring dengan ramainya wisatawan berdatangan ke daerahnya. Kediamannya cukup dekat dengan Gua Pindul, sehingga wayang sada jadi destinasi budaya yang harus dikunjungi.

"Gue baru lihat yang seperti ini. Baru lihat wayang yang berinovasi dari limbah. Go green banget," Marshall berpendapat. Dia dan Didi mencoba hal baru untuk belajar membuat wayang dari bahan tanaman dengan bimbingan Marsono dan muridnya, Rofitasari Rahayu.

Tidak hanya wayangnya saja yang terbuat dari bahan alam. Dalam pementasan wayang, biasanya ada musik yang mengiringi. Untuk musik pengiring wayang sada, Marsono membuat dari bahan alami yaitu cangkang bekicot yang sudah mati.

Petualang Marshall Sastra (kiri) dan Editor in Chief National Geographic Indonesia (kanan) tengah menonton pertunjukan wayang sada Marsono (tengah) sambil memainkan musik pengiring. Kesenian ini menggunakan bahan alami daur ulang sebagai sumber kreasinya. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)