Dimulai dari Tapak, Kunci Membangun Ketahanan terhadap Krisis Iklim

By Utomo Priyambodo, Kamis, 8 September 2022 | 10:00 WIB
Masyarakat adat Cireundeu. Terkenal dengan ketahanan pangan dengan cara tradisional. (Zika Zakiya)

Nationalgeographic.co.id—Saat ini dunia sedang menghadapi krisis besar (mega crisis) antara lain akibat pandemi COVID-19 dan perang antara Rusia dan Ukraina. Perubahan iklim, meski kerap diabaikan oleh banyak orang, juga termasuk faktor penyebab krisis besar dunia saat ini.

Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, menyatakan bahwa upaya kita untuk menjalani krisis besar dengan elemen ketidakpastian yang tinggi perlu diletakkan pada kebijakan-kebijakan mendasar yang menyangkut kelangsungan eksistensi (survival) umat manusia. Dia menegaskan pentingnya ketahanan iklim.

Ketahanan iklim merupakan kondisi sosial-ekologis suatu masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, sekaligus melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Lingkup kebutuhan dasar yang dimaksud, sesuai dengan situasi "mega crisis" yang dialami dan berhubungan dengan kelangsungan hidup manusia adalah ketersediaan pangan, energi, dan air (FEW = Food, Energy and Water). Ini disebut juga ketahanan FEW.

Layak diperkirakan bahwa pandemi akan berakhir lebih dulu. Namun, durasi perubahan iklim akan lebih lama dan pengendaliannya sangat tergantung dari kemampuan memenuhi kebutuhan dasar FEW diatas.

Perubahan iklim akan menjadi pemicu krisis sosial ekologis yang luas dan intens seantero bumi. Persoalan menjadi semakin kompleks karena krisis sosial ekologis yang timbul tidak tersebar merata.

Negara-negara miskin lebih rentan terhadap risiko perubahan iklim dibanding negara-negara maju. Golongan berpenghasilan rendah atau miskin lebih rentan terhadap perubahan iklim dibanding yang berpenghasilan menengah atau kaya. Demikian pula kaum perempuan dan anak-anak, terutama rumah tangga miskin di pedesaan, tergolong paling rentan terhadap perubahan iklim.

Generasi mendatang lebih rentan terhadap risiko perubahan iklim dibanding generasi sekarang. Oleh karena ketidakmerataan akibat krisis sosial ekologis inilah, persoalan keadilan iklim menjadi mengemuka.

Greta Thunberg, remaja umur 16 tahun dari Swedia, melakukan protes dan advokasi perubahan iklim di forum-forum dunia. Thunberg menyentak dunia dengan pernyataan-pernyataannya yang tajam, singkat, dan langsung menghujam ke inti persoalan: keadilan iklim. Ia marah karena generasinya pada dekade mendatang memperoleh ketidakadilan iklim akibat ulah generasi sekarang.

Ketahanan iklim menjadi jawaban untuk generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Menurut Sarwono, ketahanan iklim harus dibangun dari tingkat tapak.

"Tapak merupakan satuan sosial yang secara efektif dan kompak memiliki kesanggupan mengelola sumber daya dan lanskap lokal," jelas Sarwono.

Pengertian tapak tidak dibatasi oleh wilayah administratif serta tidak terbagi dalam pembedaan kota dan desa. Di tingkat tapak, yang dapat juga disebut akar rumput, satuan sosial yang mengelola ketahanan iklim dan ketahanan FEW dicirikan dengan terjalinnya kohesisosial (kekompakan) oleh populasi yang menjadi pelaku.

Saat krisis akibat pandemi ini, misalnya, ketika harga kebutuhan naik, ada banyak kelompok masyarakat adat atau desa yang tetap mampu memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Mereka mampu berswasembada pangan, tidak seperti kebanyakan masyarakat kota yang tak lagi punya atau hanya punya sedikit sekali lahan pertanian dan perkebunan.