Dipa Nusantara Aidit: dari sang Muazin Cilik hingga Pemimpin PKI

By Galih Pranata, Sabtu, 3 September 2022 | 08:00 WIB
Presiden Sukarno (kanan) dan D.N. Aidit (kiri) dalam perayaan ulang tahun PKI di Stadion Olahraga Merdeka Jakarta, tangal 23 Mei 1965. (AP Photo)

Nationalgeographic.co.id—Abdullah Aidit, anak Haji Ismail, merupakan anak dari soerang saudagar penjual ikan. Abdullah yang merupakan mantri kehutanan, merupakan jabatan yang bergengsi di zamannya. 

"Abdullah memiliki puluhan sero, semacam penangkapan ikan di laut dan pemasok ikan terbesar ke sejumlah pasar," tulis Arif Zulkifli dan Bagja Hidayat dalam buku Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara yang terbit pada 2010.

Abdullah menikah dengan Mailan. Ayah Mailan, Ki Agus Haji Abdul Rachman adalah orang yang terpandang di Belitung. Titel "Ki" pada nama itu mencirikan ia ningrat. Dia juga tuan tanah.

Berada dalam kondisi lingkungan keluarga terpandang, membuat Abdullah dan keluarganya dekat dengan polisi-polisi Hindia Belanda di tangsi, orang-orang Tionghoa di pasar, dan none-none Belanda di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, sebuah perusahaan tambang timah milik Belanda.

"Selain mudah bergaul dengan tuan-tuan Belanda, anak-anak Abdullah juga gampang masuk Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah menengah pemerintah Belanda ketika itu," tambahnya.

Sebut saja Achmad Aidit, salah satu dari delapan anak Abdullah Aidit dan Mailan. Achmad Aidit lahir dalam kondisi keluarga terpandang pada 30 Juli 1923 di Jalan Belantu 3, Pangkallalang, Belitung.

Walaupun dididik di sekolah Belanda, anak-anak Abdullah tumbuh dalam keluarga yang rajin beribadah. Sebagaimana arahan Abdullah, anak-anaknya hidup dalam lingkungan Islam yang baik.

Pendidikan Islam yang ditanamkan kepada anak-anaknya ia dapatkan karena perantauan keagamaannya. Abdullah juga berperan dalam pendirian Nurul Islam, organisasi pendidikan Islam dekat kawasan pecinan di kota itu. 

D.N. Aidit besama ayahnya Abdullah. Republika. ()

Setiap pulang sekolah, Achmad Aidit dan adik-adiknya selalu belajar mengaji. Guru mereka Abdurracham, merupakan adik ipar Abdullah—adik kandung Mailan.

Setelah mengaji, Achmad—panggilan kecil Aidit—dan adik-adiknya menuju ke sungai untuk mengambil air. Sebagai kakak tertua, Achmad biasanya membawa jeriken paling besar.

Orang-orang di Jalan Belantu mengenal Achmad Aidit sebagai muazin alias tukang azan. Suaranya lantang dan berani melantunkan panggilan salat. Seperti di sebagian besar wilayah Indonesia saat itu, Belitung juga belum punya pengeras suara guna mengumandangkan azan.

"Karena suara Bang Achmad (Aidit) keras, dia kerap diminta mengumandangkan azan," kata Murad Aidit, adik kandung Achmad Aidit dalam tulisan Arif dan Bagja.

 Baca Juga: Terbuangnya Generasi Intelektual Indonesia Setelah Peristiwa 1965

 Baca Juga: Nasib Keluarga Dipa Nusantara Aidit Sesudah Malam 30 September

 Baca Juga: Senandung Sendu Seniman Ketoprak Ketika Terseret Pusaran Geger 1965

Selain dikenal sebagai pelantun panggilan salat, sang muazin cilik itu juga memiliki pergaulan dengan buruh di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, perusahaan di wilayahnya. Secara pergaulan, Achmad selalu lebih dewasa dibanding anak seusianya.

Pergaulannya dengan buruh itu bertahan sampai usianya menginjak remaja. Saat mulai berpikir secara kritis, Achmad agaknya tertarik dan simpati pada kaum buruh. Saban hari ia selalu melihat buruh berlumur lumpur, bermandi keringat, dan hidup susah.

Pergaulan dengan kaum buruh itu, barangkali menentukan jalan pikiran dan sikap politik Achmad Aidit setelah di Jakarta. Ia lantas menggunakan "Dipa Nusantara" sebagai nama panggungnya.

Ia terlibat aktif dalam menyuarakan isu-isu politik tentang buruh. Tak ayal, ia masuk jajaran front komunis yang cenderung dipenuhi kalangan buruh dan pekerja kasar. Dari aktivismenya ini, nama Aidit terus melambung.

Achmad Aidit yang dikenal dengan panggilan Dipa Nusantara Aidit, menjadi sosok pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) dan larut dalam peristiwa paling berdarah pada 30 September 1965. (Wikimedia Commons)

Keaktifannya dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) membuatnya dipercaya untuk memimpin gerakan politik itu. Dipa Nusantara Aidit kemudian dikenal sebagai salah seorang di balik peristiwa paling berdarah yang dikenal dengan Gerakan 30 September atau G30S/PKI.

Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo