Setangkai Payung Zaman VOC, Tudung Cerita Orang Eropa dan Budaknya

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 5 September 2022 | 10:00 WIB
Lukisan karya Aelbert Cuyp dilukis sekitar 1640 dan 1660. Tampak seorang komandan armada VOC, mungkin Jakob Martensen, dan istrinya. Mereka berdiri di atas bukit dengan pemandangan pelabuhan Batavia dengan latar belakang Kastel Batavia. Seorang budak membawa payung mewah demi melindungi pasangan itu (Rijksmuseum Amsterdam)

Kohoe mengungkapkan juga sosok orang Belanda yang melanggar aturan tahun 1647. Komandan armada VOC Jakob Martensen—dan istrinya—kendati busananya tampak sederhana, mereka telah melanggar aturan gara-gara payung dipegang oleh budak. “Tampaknya mereka ingin digambarkan melakukan hal itu [memerintahkan budak untuk memayungi] yang secara lahiriah menegaskan dominasi mereka terhadap unsur warna lokal.”

Lilie Suratminto menjelaskan kepada saya tentang asal-usul kebiasaan memakai payung yang dipegang oleh budak. “Menurut pengamatan saya,” ungkapnya, “kebiasaan memakai payung itu erat hubungannya dengan para pembesar pribumi yang setiap ada acara kirab dengan berjalan kaki selalu dipayungi  kebesaran.”

Litografi berjudul T’ Weeshuys op Batavia karya Johan Nieuhof (1618-1672), yang pernah menjabat delegasi VOC. Setelah dipecat, ia menyusun buku tentang Batavia yang dilengkapi dengan lukisan-lukisan pemandangan kota bertajuk Zee- en Lant-Reise door verscheide Gewesten van Oostindien, behelzende veel (Atlas Mutual Heritage)

Seorang perempuan terhormat memberikan sedekah kepada seorang anak panti asuhan. Perempuan itu dipayungi oleh seorang pengiringnya. Selain itu terdapat perempuan lain dalam adegan itu yang dipayungi oleh seorang budak bumiputra. Bagian litografi berjudul T’ Weeshuys op Batavia karya Johan Nieuhof (1 (Atlas Mutual Heritage)

Lilie merupakan seorang peminat kajian bahasa dan budaya Belanda, serta pemerhati warisan budaya kolonial. Kini, Dekan Fakultas Sosial Humaniora, Universitas Buddhi Dharma, Tangerang.

Orang-orang Eropa yang menghuni Batavia, pasti merasakan panas nan terik di pesisir tropis ini. Satu-satunya cara untuk berlindung dari sengatan sinar matahari adalah dengan payung, demikian ungkap Lilie. “Para pejabat kolonial berlaku seperti para bendara pribumi,” imbuhnya, “jadi harus dipayungi oleh abdi dalem—atau budak.”

“Jadi berjalan dengan dipayungi oleh pengawal merupakan prestise bagi mereka yang merasa seperti raja di negeri jajahan,” ungkapnya. “Padahal mereka ini di negerinya sendiri mungkin dipandang mata sebelah.” 

Bagaimana tradisi payung di Eropa dan Nusantara? Menurut Lilie, Eropa memiliki kebiasaan memakai payung sebagai pelindung hujan. Bentuk payung Eropa berbeda dengan payung Nusantara, dan umumnya berwarna hitam. Sementara itu payung Nusantara cenderung warna-warni dan bahan awalnya berasal dari kertas.  “Seni pembuatan payung ini mungkin ada kaitannya dengan pengaruh Cina,” ujarnya. “Raja-raja dan para pembesar mempunyai payung khusus yang dipakai saat upacara resmi.” 

Litografi bertajuk Gezicht op de Tijgersgracht te Batavia atau Pemandangan Kanal Harimau dalam buku Johan Nieuhof yang diterbitkan 1682. Pada pertengahan abad ke-17, Tijgersgracht dianggap yang paling indah dari lima belas kanal di dalam tembok Kota Batavia. Di sepanjang kanal itu berdiri rumah-ruma (Koninklijke Bibliotheek)

Orang-orang Mesir, Mesopotamia, Yunani, dan Cina telah menggunakan payung untuk memberi keteduhan dari sinar matahari sejak 4.000 tahun silam. Kata “umbrella” dalam bahasa Inggris yang berarti payung, berasal dari bahasa Latin “umbra” yang berarti bayangan. Dari sekian peradaban di dunia, orang Cina telah menemukan payung kertas tahan air pertama sebagai perlindungan dari hujan.

Pejalan dan pelukis asal Amsterdam, Johan Nieuhof, juga menampilkan sosok warga Batavia yang dipayungi oleh seorang budak. Dia pernah menjadi delegasi VOC untuk Kaisar Cina pada 1655-1658. Salah satu litografinya mengisahkan pemandangan sebuah panti asuhan di Batavia pada 1682, bertajuk T’ Weeshuys op Batavia.

Nieuhof menampilkan pemandangan sebuah wisma yatim-piatu yang pernah merawat anak-anak telantar di Batavia sejak 1662 sampai 1725. Adolf Heuken dalam Tempat-tempat bersejarah di Jakarta, yang diterbitkan Yayasan Cipta Loka Caraka pada 2016, mengungkapkan riwayat wisma ini. Dahulu, menurutnya, wisma ini berada di Jalan Orpa, yang bermakna Jalan Yatim-Piatu. Namun kini jalan itu berganti nama menjadi Jalan Roa Malaka II, “sehingga warna sejarah hilang.”