Setangkai Payung Zaman VOC, Tudung Cerita Orang Eropa dan Budaknya

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 5 September 2022 | 10:00 WIB
Lukisan karya Aelbert Cuyp dilukis sekitar 1640 dan 1660. Tampak seorang komandan armada VOC, mungkin Jakob Martensen, dan istrinya. Mereka berdiri di atas bukit dengan pemandangan pelabuhan Batavia dengan latar belakang Kastel Batavia. Seorang budak membawa payung mewah demi melindungi pasangan itu (Rijksmuseum Amsterdam)

Jean Gelman Taylor, menulis tentang pamer kemewahan itu di dalam bukunya Social World of Batavia: European and Eurasian in Dutch Asia yang diterbitkan oleh The University of Wisconsin Press pada 1983. Edisi bahasa Indonesianya berjudul Kehidupan Sosial di Batavia, yang diterbitkan Masup Jakarta pada 2009. Di buku itu Taylor mengutip catatan Graff.

Tidak seperti pelancong lain yang mengisahkan keindahan dan kesyahduan Batavia dengan kanal-kanalnya, Graaff justru mengisahkan tentang perilaku perempuan di Batavia yang kadang terkesan memalukan. Catatan tentang pengamatannya yang mendalam seputar kehidupan perempuan di Hindia Timur baru diterbitkan pada 1701—setelah dia wafat—dalam Oost-Indise Spiegel.

Pelukis ternama lainnya yang mengabadikan banyak sosok berpayung adalah Johannes Rach, seorang pelukis asal Denmark yang bekerja untuk VOC. Sosok berpayung itu tampil dalam lukisannya, baik bersama budak maupun memegang payung sendiri. Rach menghuni Batavia sejak 1762 sampai wafatnya pada 1783. Boleh jadi, dia telah mengekalkan pemandangan Batavia pada akhir abad ke-18, jelang kebangkrutan kongsi dagang itu.

Salah satu lukisannya menggambarkan suasana benteng Ancol, sekitar lima kilometer dari Batavia. Rach menampilkan seorang perwira VOC yang sedang menginspeksi bangunan itu.  Dia bersama budaknya yang memegang payung, semendata budak lainnya menjaga kudanya di seberang kanal Ancol. Tampaknya perwira itu disambut oleh komandan benteng, yang mengenakan kuncir wig, sembari menjelaskan situasinya.

Lukisan lainnya menampilkan suasana pagi di jantung Batavia, lapangan balai kota atau Stadhuisplein yang di kelilingi pohon kenari. Rach menggambarkan bangunan Balai Kota Batavia dan air mancurnya. Ada pedagang pikulan menjajakan makanan, kereta kuda yang melintas, dan dua perempuan yang diiringi budak lelaki yang memayungi mereka. Di sebelah kanan, tampak De Nieuwe Hollandse Kerk atau Gereja Belanda Baru. Gereja ini menggantikan Kruiskerk atau Gereja Salib yang lebih kecil pada 1733.

Pada abad ke-17, saat itu di Batavia bahwa nyonya-nyonya elite punya kebiasaan unik saat beribadah di Kruiskerk atau Gereja Salib, yang bekas lahannya kini menjadi Museum Wayang. Mereka—para nyonya Belanda, maupun mestizo atau peranakan—menjadikan gereja sebagai ajang pamer status sosial.

Graaf mengisahkan perilaku para nyonya di Batavia yang memamerkan perhiasan mewah tatkala mereka pergi dan pulang dari gereja. Segala hal telah mereka siapkan lebih glamor ketimbang waktu lain, demikian menurutnya. Selain berbusana dan bertakhtakan perhiasan mewah, dia juga mencatat bahwa nyonya-nyonya Batavia datang ke gereja yang diiringi budak lelaki dan perempuan mereka. Para budak membawa payung berbodir dengan corak daun-daun. Merekia memayungi majikan selama perjalanan.

“Seorang perempuan Belanda yang paling rendah derajatnya pun memiliki budak yang mengiringinya dengan membawa payung sebagai pelindung dari panas matahari. Banyak dari mereka memiliki parasol berbodir naga emas dan ornamen dedaunan,” tulis Graff.

   

Baca Juga: Menelusuri Histori VOC, Sumber Kekayaan Belanda di Nusantara

Baca Juga: Kisah Perjuangan Kompeni VOC dari Musibah Karamnya Kapal Zeewijk

Baca Juga: Kapal-Kapal Kesultanan Banten yang Canggih dari Kesaksian VOC

    

Selain itu dia juga melukiskan dalam catatannya bahwa nyonya-nyonya itu ibarat putri raja yang manja dan selalu ingin dilayani dan dipenuhi segala kebutuhannya. “Bahkan sedotan yang jatuh di lantai, mereka memanggil para budak untuk mengambilnya,” demikian tulisnya. Malangnya, para budak kerap didera sumpah serapah atau hukuman cambuk apabila mereka bekerja lamban atau tak memenuhi pinta sang nyonya majikan. 

Menurut Taylor, yang seorang Guru Besar di University of New South Wales, kebiasaan pamer ini tidak berasal dari kalangan ningrat di negeri asal mereka, Belanda. Justru kebiasaan ini adalah pengaruh budaya Asia dan budaya Portugis, demikian hemat Taylor.

Demikianlah, sepotong kehidupan sosial di sebuah kota di muara Ciliwung yang kelak melahirkan Megapolitan Jakarta dengan segala keruwetan dan prestise budayanya. Jikalau nyonya sosialita zaman VOC tampak eksis bersosialisasi di gereja, bagaimana nyonya sosialita zaman sekarang?

Payung hadir sebagai tudung yang melindungi dari sinar matahari nan terik, sekaligus menjelma sebagai simbol status yang diadopsi dari ningrat setempat. Pertautan budaya menghasilkan pengaruh dua arah atau saling memengaruhi—warga bumiputra yang mengenal kebiasaan-kebiasaan baru dari Eropa dan warga Eropa yang mengenal kebiasaan-kebiasaan baru dari warga bumiputra. Sebuah keniscayaan apabila Jakarta adalah hamparan peleburan, yang tradisi dan budayanya terbentuk dari perjumpaan-perjumpaan. Kota ini begitu kosmopolit.