Sama-sama Kerajaan Hewan, Apa yang Membuat Spesies Manusia Unik?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 14 September 2022 | 09:00 WIB
Manusia merasa punya kuasa untuk mengelola Bumi. Akan tetapi, apa yang membuat pikiran manusia demikian, dan merasa berbeda daripada hewan lainnya? Kuncinya ada pada proses evolusi yang memakan waktu jutaan tahun. (Pxhere)

Nationalgeographic.co.id—Manusia suka mencari tahu bagaimana asal-usul mereka. Tidak hanya Anda dengan mencari leluhur keluarga saja, sudah sejak lama kita menulis tentang kita sendiri dalam sebuah karya. Kitab suci mengatakan bahwa manusia dibentuk dari tanah oleh Tuhan, dan Charles Darwin menjelaskan bahwa leluhur kita adalah 'mirip kera' yang berevolusi.

Kesenangan kita menjelaskan asal-usul manusia pun masuk di karya sastra. Avatar the Legend of Aang dan the Legend of Korra menyebut manusia 'merangkak' dari tanah. Kelompok manusia terpecah tinggal di atas cangkang kura-kura raksasa yang mengajarkan elemen api, air, tanah, dan udara untuk melindungi diri. Manusia jadi makhluk yang mengontrol kehidupan Bumi dengan elemennya setelah konvergensi harmonik pertama.

Sementara J.R.R Tolkien dalam Silmarillion sebagai awal cerita Lord of the Rings, mengisahkan manusia diciptakan setelah elf dan kurcaci diciptakan Eru Ilúvatar--dewa tertinggi Arda. Manusia adalah makhluk yang paling rapuh dan berusia pendek dibandingkan elf dan kurcaci yang mencapai ribuan tahun.

Manusia setelah diciptakan secara 'ajaib' di belahan timur Bumi, kemudian bermigrasi ke barat di Middle-earth. Rombongan mereka terpecah dalam perjalanan, sehingga menyebar. Mereka mendapatkan pengetahuan setelah diajarkan oleh para elf. Kemudian, beberapa zaman berikutnya, mereka punya kendali Bumi setelah tugas para elf selesai di Middle-Earth.

Semuanya mengisahkan bagaimana manusia punya tanggung jawab untuk mengelola Bumi. Tanggung jawab itu diberikan oleh pemahaman ilahiah mereka. Seolah, manusia berbeda dengan hewan-hewan lainnya di Bumi yang terkadang dieksploitasi mereka juga.

ilustrasi tidur Homo Sapiens ()

Padahal, secara taksonomi biologi, kita termasuk kerajaan hewan. Charles Darwin juga setuju dengan asal-usul kita yang sebenarnya adalah hewan. Lewat The Descent of Man, Darwin menulis manusia adalah hewan dengan akal seperti dewa.

Proses makhluk kera botak ini bisa berkuasa, punya cerita panjang dari 'mirip kera' menjadi tubuh yang kita kenal hari ini. Perjalanannya membutuhkan ribuan hingga jutaan tahun oleh kemampuan adaptasi menghadapi iklim, dan seleksi alam. Itu sebabnya, kita tidak menyadari bahwa sebenarnya evolusi sedang berjalan sampai saat ini.

"Jawaban atas pertanyaan mengapa kita tampak begitu berbeda dari hewan lain adalah bahwa semua spesies yang berkerabat dekat telah punah," kata Thomas Suddendorf. Dia adalah profesor psikologi kognitif anak-anak dan primata non-manusia di University of Queensland, Australia.

"Kita adalah manusia terakhir," lanjutnya di NewScientist. Artinya, ada spesies seperti kita (Homo) tetapi tidak bisa bertahan sehebat kita. Bisa jadi karena kita yang memusnahkan mereka di masa purba. Sehingga yang tersisa untuk memahami asal-usul kita adalah primata non-manusia.

Pohon evolusi yang dibuat para peneliti lewat pendekatan penelitian baru. Terlihat, alur bagaimana mamalia sederhana di masa purba, seiring waktu menjadi kompleks seperti yang ada saat ini. ( Graphodatsky et al)

Sebuah studi tahun 2005 di Genome Research mengungkap, manusia diduga nenek moyang jauhnya adalah kera yang memanjat pohon. Akan tetapi, genom kita hanya empat persen berbeda dari kebanyakan simpanse.

Sementara temuan lain yang dikutip dalam studi mengatakan, 99 persen kesamaan antara simpanse dan manusia punya nenek moyang yang sama pada empat dan tujuh juta tahun silam. Itu sebabnya perbedaan genom tidak begitu signifikan, tetapi punya persamaan perilaku.

Suddendorf dalam bukunya berjudul The gap: The science of what separates us from other animals, dia melihat ada kesenjangan pikiran yang luar biasa antara manusia dan hewan. Dia mencari tahu, apa penyebabnya?

Awalnya ia curiga mungkin ukuran otak penyebabnya. Akan tetapi, otak gajah dan paus lebih besar dari kita. Apakah mungkin karena ukuran relatif otak dan tubuh? Maka, tikus dan celurut jauh lebih tepat untuk berpikir.

Pada akal, ada banyak persamaan antara manusia dan hewan lainnya yang punya ukuran otak beragam. Manusia pandai menggunakan alat yang membuatnya menjadi pencapaian signifikan. Alat bisa menjadi senjata untuk berburu hingga bertarung.

Akan tetapi, simpanse juga bisa menggunakan alat seperti daun sebagai kertas toilet dan payung mereka. Gagak juga bisa membuat alat dari daun atau batang kecil untuk mendapatkan makanan, bahkan batang kecil yang digabungkan menjadi tongkat.

Selama ini kelompok simpanse dan kelompok gorila diketahui hidup bersama dengan damai di daerah-daerah tertentu di alam liar. (Nicolas Johnson/QUORA)

Manusia bisa mengenal diri pada cermin. Di sisi lain, kerabat primata non-manusia kita seperti simpanse, orang utan, dan gorila juga bisa. Sementara monyet, babon, capuchin, dan kera kecil gagal mengidentifikasi diri mereka di cermin. Hewan lain di luar primata seperti lumba-lumba, gajah, dan burung murai justru bisa. Kita mulai ragu dengan fungsi akal sebagai kunci pembeda.

Mungkinkah kecerdasan kita karena bahasa--vokalisasi dalam suara? Rupanya burung, monyet, dan paus juga bisa. Sayangnya, di luar manusia, Suddendorf memandang, vokalisasi itu tampaknya berada di bawah emosi bukan kognitif. Percakapan manusia melibatkan penalaran tentang apa yang orang lain ketahui, inginkan, atau percayai.

"Bahasa manusia sangat mampu mewakili makna yang melampaui di sini dan sekarang," tulisnya dalam buku. Dan bahasa kita tidak seperti komunikasi hewan. Bahasa kita menyesuaikan untuk memahami pikiran manusia lain.

Selama proses evolusi, otak manusia berubah sehingga memiliki perbedaan dibandingkan hewan lainnya. Secara fisik, fitur-fitur otak kita berkembang menjadi berbeda dari primata non-manusia dan leluhurnya.

  

Baca Juga: Dunia Hewan: Menjawab Pertanyaan tentang Evolusi Reproduksi Seksual

Baca Juga: Mengkaji Ulang Pohon Evolusi: Selama Ini Kita Banyak yang Salah

Baca Juga: Otak Neanderthal Mirip Manusia Modern, Tetapi Bentuknya Berbeda

Baca Juga: Apa yang Membuat Otak Manusia Berbeda Dibandingkan Hewan Lainnya?

  

Prosesnya tentu memakan waktu ribuan tahun karena lingkungan sekitarnya. Makanan yang leluhur manusia modern pun berpengaruh, sehingga menciptakan pelafalan baru dalam bahasa komunikasi mereka.

Kita memiliki kognitif untuk bertahan hidup, sehingga menciptakan sistem sosial yang pada masa kini berkembang menciptakan politik dan tatanan peradaban. Hal ini dijelaskan dalam kognitif komplementer yang menjadi teori ahli evolusi biologi baru-baru ini. Kejadian ini tidak hanya pada Homo sapiens, kemungkinan besar juga pada spesies manusia lainnya yang telah punah.

Pada akhirnya, karena punahnya spesies manusia lainnya, kita memiliki sedikit petunjuk. Kita harus menengok dari primata non-manusia bagaimana asal-usul kita. Proses evolusi kita pun membuat kesadaran kita berbeda dan berkesenjangan dari hewan lainnya. "Jadi, keturunan kita mungkin lebih bingung lagi dengan keunikan mereka yang tampak," terang Suddendorf.

Akibatnya, inilah yang membuat kita merasa lebih berkuasa (superior) di muka Bumi, dan menganggap hewan lainnya lebih rendahan (inferior). Pemahaman seperti ini menjadikan kita harus mendefinisikan ulang tentang kehadiran manusia itu sendiri bersama hewan lainnya. Terlebih, krisis iklim tengah berlangsung akibat ulah kita yang menganggap diri pengelola Bumi.