Kenangan National Geographic Indonesia bersama Pindi Setiawan, Legenda Peneliti Gambar Cadas Nusantara

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 10 September 2022 | 09:00 WIB
Pindi Setiawan menyelisik gambar cadas cap tangan di Gua Ham, kawasan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat. Di dunia, sangat jarang peneliti gambar cadas yang mempunyai pengalaman menemukan situs-situs baru. Namun, Indonesia memiliki cerita lain. Sebagian situs-baru bermunculan sekitar dua dekade belakangan. (Feri Latief)

Pada 2010, entah kebetulan atau takdir, saya memulai sebagai jurnalis di majalah bingkai kuning ini. Dua tahun kemudian, saya mendapat penugasan untuk mewartakan temuan arkeologi dan gambar cadas Gua Harimau di Baturaja, Sumatra Selatan. Untuk pertama kalinya, saya menyaksikan gambar cadas prasejarah. Inilah satu-satunya gua yang mengisi kekosongan gambar cadas di Sumatra.

Saya menjumpai Pindi di sebuah gerai kopi di Kembangan, Jakarta Barat pada akhir 2012. Ketika itu dia telah berpengalaman meneliti gambar cadas yang tersebar di gua-gua seantero Tanah Air. Rupanya, kegemaran Pindi dalam petualangan alam liar bersama Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri telah tersalurkan dalam serangkaian penjelajahan gua yang dilakoninya.

Saya bertanya, apa esensi penelitian arkeologis di gua-gua prasejarah dengan studinya sebagai pengajar FSRD? “Pada keilmuan seni rupa,” ujarnya, “maka gambar cadas prasejarah adalah imaji-imaji yang mengandung informasi-informasi tentang suatu peristiwa penting bagi masyarakat penggambarnya. Kemampuan menggambar informasi hanya dapat dilakukan oleh Homo sapiens, spesies lain tidak terbukti mampu melakukannya.”

Pindi terlibat dalam penelitian Gua Harimau bersama tim peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Dia bersedia membantu kami dalam mencitrakan reka ulang syaman di Gua Harimau. Sang syaman digambarkan melakukan ritual, kesurupan sembari melukis di dinding gua. Di ambang sadar, demikian Pindi berkisah, sang syaman melakukan tarian keramat sambil melumuri tangannya dengan turap dari luluhan batuan hematit. Lalu, “jari-jarinya menyentuh dinding gua sebagai hubungan langsung dengan portal dunia lain.”

Rajah dan Pusara Leluhur. Sebuah reka-ulang adegan dalam ruang kesakralan di Gua Harimau, Bukit Karangsialang, Baturaja, Sumatra Selatan. Informasi visual yang dihimpun tim National Geographic Indonesia berdasar pemerian Pindi Setiawan. (Lambok Hutabarat/National Geographic Indonesia)

“Memang konteks cara berpikir kita tidak berubah,” ungkapnya. Semenjak manusia pertama—Homo sapiens—hingga hari ini, ungkapnya, cara manusia membuat gambar, mengekspresikan kesakralan pada gambar, pertimbangan memilih hunian dan ruang suci itu senantiasa ajek.

Pindi menuliskan catatan hariannya dalam “Adibudaya Perupa Pertama Nusantara” yang terbit di National Geographic Indonesia edisi Januari 2016. Sebagai editor, saya kagum dengannya karena sedikit peneliti yang mencatat kisah-kisah perjalanannya melalui jurnal harian. Kisahnya tidak melulu soal penelitian, tetapi juga kisah-kisah konyol dan mengharukan.

"Sudah begitu lama saya dan para peneliti gambar cadas di dunia ini bermimpi menemukan lukisan purba itu dari zaman 40.000 tahun silam di kawasan Asia," tulisnya. "Alasannya, migrasi manusia 50.000 tahun lalu dari daratan Asia menuju Sahul (Australia-Papua) melalui daerah yang kini Nusantara sekarang."

Belakangan, tampaknya semesta mendukung keinginan Pindi. Mimpi itu terwujud. Awal tahun lalu peneliti Australia-Indonesia merilis temuan gambar cadas berusia 45.500 tahun di Sulawesi—tertua di dunia.

Deretan gambar cadas berwarna oker di relung Gua Saleh di kawasan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat, Kalimantan Timur. (Feri Latief)

Namun, Pindi juga memiliki keresahan tentang kelestarian gambar-gambar cadas itu karena perubahan lanskap lingkungan yang diperburuk dampak perubahan iklim. Dia mengungkapkan, setelah puluhan ribu tahun, situs-situs gambar cadas itu mulai terancam oleh kerusakan: Ekspansi berlebih dari pabrik semen, perilaku warga sekitar yang tidak hijau, perladangan di sekitar batuan karst, pariwisata yang tak teratur, dan hutan yang diganti vegetasinya.

Ada pesan dari Pindi yang menjadi cambuk buat kita yang menginginkan karya seniman-seniman pertama Nusantara itu tetap lestari. “Kalau ingin mempertahankan gambar cadas, kita harus mempertahankan kelestarian lingkungan juga,” ujarnya.