Kenangan National Geographic Indonesia bersama Pindi Setiawan, Legenda Peneliti Gambar Cadas Nusantara

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 10 September 2022 | 09:00 WIB
Pindi Setiawan menyelisik gambar cadas cap tangan di Gua Ham, kawasan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat. Di dunia, sangat jarang peneliti gambar cadas yang mempunyai pengalaman menemukan situs-situs baru. Namun, Indonesia memiliki cerita lain. Sebagian situs-baru bermunculan sekitar dua dekade belakangan. (Feri Latief)

Nationalgeographic.co.id—Belum genap setahun majalah ini terbit, sebuah kisah feature yang menggugah penasaran seorang pembaca dan pelanggannya—yakni saya sendiri. Kisah itu bertajuk “Tangan-tangan yang Menembus Waktu”. Penulis Luc-Henri Fage dan fotografer Carsten Peter melaporkan dalam dua belas halaman pada National Geographic Indonesia edisi Desember 2005.

Halaman pembukanya menampilkan cap sembur tangan bersimbol misterius. Tarikhnya lebih dari 10.000 tahun. Saat itu tim peneliti gabungan Prancis-Indonesia telah menemukan 1.500 gambar cadas serupa di lebih dari 30 gua.

Luc menulis, “Pada 1992 aku kembali bersama Jean-Michel Chazine, arkeolog Prancis sekaligus spesialis prasejarah Oceania. Dua tahun berikut kami menemukan lukisan-lukisan prasejarah di Kalimantan Timur.” Kemudian Luc melanjutkan kisahnya, “Pindi Setiawan, peneliti Indonesia, ikut bergabung pada 1995.”

Untuk pertama kalinya saya mengenal nama peneliti gambar cadas di Indonesia, kajian yang sangat langka di negeri ini. Setidaknya, saat edisi itu terbit, Pindi telah meneliti gambar cadas bersama tim Luc selama sepuluh tahun belakangan.

“Tahun demi tahun, tim kami berhasil menemukan lusinan gua dengan lukisan-lukisan warna merah di seluruh penjuru wilayah,” tulis Luc. “Beberapa di antaranya berdesain unik berkaitan dengan orang-orang terlupakan yang misterius.”

'Rock Art Exhibition, Gambar Cadas Purba di Kalimantan Timur' yang digelar di Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, 21-22 Januari 2006. Selain pameran foto, perhelatan ini juga menampilkan para peneliti yang memaparkan temuannya pada sesi diskusi. Paling kanan Karina Arifin, arkeolog FIB UI, dan di sampingnya Pindi Setiawan, FSRD ITB. (Mahandis Yoanata/National Geographic Indonesia)

Bulan berikutnya, majalah ini menggelar kegiatan terkait kisah gambar cadas Kalimantan di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Saya yang begitu lugu, menyimak pemaparan ahli gambar cadas dan mengikuti lokakarya cap tangan ala manusia prasejarah. Acara itu bertajuk "Rock Art Exhibition"

Pindi turut memopulerkan penggunaan frasa "gambar cadas" sebagai padanan frasa bahasa Inggris "rock art.' 

Saat itu saya bangga bisa berkesempatan sebagai peserta dan berkenalan dengan Pindi Setiawan, ahli gambar cadas dari Fakultas Seni Rupa dan Desain di Institut Teknologi Bandung, nama yang turut disebut Luc dalam kisahnya.

Semenjak itu pula saya berminat tentang tema budaya prasajarah dan migrasi manusia. Seberapa banyak peserta dan pembaca semacam saya yang terinspirasi misi National Geographic Indonesia?

Tradisi gambar cadas merupakan tradisi manusia prasejarah dalam menyampaikan pesan melalui gambar. Di dunia, sangat jarang peneliti gambar cadas yang mempunyai pengalaman menemukan situs-situs baru. Namun, Indonesia memiliki cerita lain. Sebagian situs-baru bermunculan sekitar dua dekade belakangan.

Pindi Setiawan menunjukkan cara menorehkan pewarna alam pada tembikar dalam acara 'Rock Art Exhibition, Gambar Cadas Purba di Kalimantan Timur' yang digelar National Geographic Indonesia dan mitra pendukung di Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, 21-22 Januari 2006. (Mahandis Yoanata/National Geographic Indonesia)

Pada 2010, entah kebetulan atau takdir, saya memulai sebagai jurnalis di majalah bingkai kuning ini. Dua tahun kemudian, saya mendapat penugasan untuk mewartakan temuan arkeologi dan gambar cadas Gua Harimau di Baturaja, Sumatra Selatan. Untuk pertama kalinya, saya menyaksikan gambar cadas prasejarah. Inilah satu-satunya gua yang mengisi kekosongan gambar cadas di Sumatra.

Saya menjumpai Pindi di sebuah gerai kopi di Kembangan, Jakarta Barat pada akhir 2012. Ketika itu dia telah berpengalaman meneliti gambar cadas yang tersebar di gua-gua seantero Tanah Air. Rupanya, kegemaran Pindi dalam petualangan alam liar bersama Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri telah tersalurkan dalam serangkaian penjelajahan gua yang dilakoninya.

Saya bertanya, apa esensi penelitian arkeologis di gua-gua prasejarah dengan studinya sebagai pengajar FSRD? “Pada keilmuan seni rupa,” ujarnya, “maka gambar cadas prasejarah adalah imaji-imaji yang mengandung informasi-informasi tentang suatu peristiwa penting bagi masyarakat penggambarnya. Kemampuan menggambar informasi hanya dapat dilakukan oleh Homo sapiens, spesies lain tidak terbukti mampu melakukannya.”

Pindi terlibat dalam penelitian Gua Harimau bersama tim peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Dia bersedia membantu kami dalam mencitrakan reka ulang syaman di Gua Harimau. Sang syaman digambarkan melakukan ritual, kesurupan sembari melukis di dinding gua. Di ambang sadar, demikian Pindi berkisah, sang syaman melakukan tarian keramat sambil melumuri tangannya dengan turap dari luluhan batuan hematit. Lalu, “jari-jarinya menyentuh dinding gua sebagai hubungan langsung dengan portal dunia lain.”

Rajah dan Pusara Leluhur. Sebuah reka-ulang adegan dalam ruang kesakralan di Gua Harimau, Bukit Karangsialang, Baturaja, Sumatra Selatan. Informasi visual yang dihimpun tim National Geographic Indonesia berdasar pemerian Pindi Setiawan. (Lambok Hutabarat/National Geographic Indonesia)

“Memang konteks cara berpikir kita tidak berubah,” ungkapnya. Semenjak manusia pertama—Homo sapiens—hingga hari ini, ungkapnya, cara manusia membuat gambar, mengekspresikan kesakralan pada gambar, pertimbangan memilih hunian dan ruang suci itu senantiasa ajek.

Pindi menuliskan catatan hariannya dalam “Adibudaya Perupa Pertama Nusantara” yang terbit di National Geographic Indonesia edisi Januari 2016. Sebagai editor, saya kagum dengannya karena sedikit peneliti yang mencatat kisah-kisah perjalanannya melalui jurnal harian. Kisahnya tidak melulu soal penelitian, tetapi juga kisah-kisah konyol dan mengharukan.

"Sudah begitu lama saya dan para peneliti gambar cadas di dunia ini bermimpi menemukan lukisan purba itu dari zaman 40.000 tahun silam di kawasan Asia," tulisnya. "Alasannya, migrasi manusia 50.000 tahun lalu dari daratan Asia menuju Sahul (Australia-Papua) melalui daerah yang kini Nusantara sekarang."

Belakangan, tampaknya semesta mendukung keinginan Pindi. Mimpi itu terwujud. Awal tahun lalu peneliti Australia-Indonesia merilis temuan gambar cadas berusia 45.500 tahun di Sulawesi—tertua di dunia.

Deretan gambar cadas berwarna oker di relung Gua Saleh di kawasan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat, Kalimantan Timur. (Feri Latief)

Namun, Pindi juga memiliki keresahan tentang kelestarian gambar-gambar cadas itu karena perubahan lanskap lingkungan yang diperburuk dampak perubahan iklim. Dia mengungkapkan, setelah puluhan ribu tahun, situs-situs gambar cadas itu mulai terancam oleh kerusakan: Ekspansi berlebih dari pabrik semen, perilaku warga sekitar yang tidak hijau, perladangan di sekitar batuan karst, pariwisata yang tak teratur, dan hutan yang diganti vegetasinya.

Ada pesan dari Pindi yang menjadi cambuk buat kita yang menginginkan karya seniman-seniman pertama Nusantara itu tetap lestari. “Kalau ingin mempertahankan gambar cadas, kita harus mempertahankan kelestarian lingkungan juga,” ujarnya. 

Pada tahu pertama pandemi, tim National Geographic Indonesia bersama Pindi kembali menyinggahi gua-gua yang mengekalkan gambar cadas prasejarah di kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat. Ketika itu kami sedang menjajaki rute perjalanan ke gua-gua prasejarah itu sebagai wisata minat khusus yang melibatkan warga setempat sebagai operatornya. Kami singgah ke Gua Tengkorak, Gua Tewet, dan satu gua yang ditemukan sang peneliti: Gua Pindi. Kementerian Pariwsata dan Ekonomi Kreatif turut memberi dukungan berupa peranti penelusuran gua dan edukasi bagi pemandu gua. 

Gambar cadas di ruang seperti balkon kerap dijumpai pada situs-situs di hulu Bengalon, Sangkulirang. Salah satunya imaji sarang madu dan sosok manusia syaman di Liang Karim, yang digambar kaum Pemburu Lanjut yang meramu hasil hutan. (Feri Latief)

Tim peneliti gabungan dari Indonesia dan Australia berhasil menemukan bukti amputasi paling awal dari Zaman Batu yang pernah tercatat sejauh ini. Penemuan ini berasal dari Liang Tebo, sebuah gua batu kapur di daerah terpencil Sangkulirang-Mangkalihat di Kalimantan Timur. Jurnal penelitiannya rilis di Nature bertajuk Surgical amputation of a limb 31,000 years ago in Borneo pada 7 September silam.

Nama Pindi tercantum dalam awak penelitian itu. Lewat siaran pers Badan Riset dan Inovasi Nasional terkait pemaparan temuan tadi, Pindi menyampaikan bahwa temuan ini memberikan implikasi yang besar untuk memperkuat bukti kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat sebagai sebuah World Heritage.

Jumat, 9 September 2022 sekitar pukul 10 pagi, sehari setelah tim peneliti BRIN dan Griffith University memaparkan temuannya dalam diskusi daring, Pindi Setiawan wafat di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta Pusat. Kita kehilangan seorang peneliti dan pelestari gambar cadas Nusantara, yang kajiannya masih begitu sedikit peminatnya di negeri ini. 

Selamat jalan menuju keabadian, Kang Pindi. Terima kasih atas pencerahan dan kesabaran menemukan karya-karya seniman pertama Nusantara, dan mengisahkannya kepada kami.

Saya masih ingat betapa dirimu begitu bersemangat untuk menyingkap gambar-gambar cadas itu. Pindi telah melunasi ikhtiarnya: “Rasanya rela memberikan energi yang besar untuk melindungi warisan yang tak ternilai ini.”