AI Bisa Jadi Editor Konten Informasi Jitu tetapi Masih Butuh Manusia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 20 September 2022 | 11:00 WIB
Wanita menggunakan aplikasi microblogging media sosial di ponsel pintarnya. Ada kecerdasan buatan yang menangkal informasi berbahaya dan kebencian untuk pengguna. Akan tetapi, perlu ada manusia yang membuatnya lebih optimal. (grinvalds)

Nationalgeographic.co.id - Dalam penyampaian informasi, terutama di bidang jurnalisme, akurasi dan objektivitas sangat penting. Itu sebabnya, selain jurnalis atau pembuat berita dan konten, perlu ada editor yang dapat menentukan diksi dan gambar yang bisa disajikan pada khalayak. Proses ini disebut sebagai penjaga pintu (gatekeeping)

Sejak era media sosial, penjagaan pintu arus informasi terbuka lebar dan harus dilakukan pada aplikasi informasi atau pengguna itu sendiri. Yang paling berperan adalah kecerdasan buatan (AI). Mereka bisa menandai ujaran kebencian dan konten berbahaya.

Kita bisa menengoknya pada fitur yang dapat menyembunyikan gambar vulgar di Twitter dengan menyensornya. Atau pada kasus lain, peringatan tertera di fitur Instagram tentang adanya gambar kekerasan pada suatu kiriman.

Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan, pengguna media sosial dapat mempercayai kecerdasan dalam kemampuan ini. Ketika pengguna memikirkan atribut positif pada aplikasi media sosial, seperti akurasi dan objektivitasnya, mereka lebih percaya pada kecerdasan buatan daripada hasil yang dibuat manusia.

Namun, apabila pengguna diingatkan tentang ketidakmampuan mesin untuk membuat keputusan subjektif, kepercayaan mereka lebih rendah. Begitulah hasil temuan terbaru yang dipublikasikan di Journal of Computer-Mediated Communication pada Juli silam, berjudul "When AI moderates online content: effects of human collaboration and interactive transparency on user trust."

"Ada kebutuhan mendesak untuk moderasi konten di media sosial dan lebih umum lagi, media daring," kata S. Shyam Sundar, salah satu penulis makalah di Donald P. Bellisario College of Communications, The Pennsylvania State University.

"Di media konvensional, kita memiliki editor berita yang berfungsi sebagai penjaga gerbang. Namun secara daring, gerbangnya sangat terbuka lebar, dan penjagaan gerbang belum tentu layak dilakukan oleh manusia, terutama dengan banyaknya informasi yang dihasilkan," jelasnya di dalam rilis.

"Jadi, dengan industri yang semakin bergerak ke arah solusi otomatis, penelitian ini melihat perbedaan antara moderator konten manusia dan otomatis, dalam hal bagaimana orang menanggapinya."

Penulis utama makalah Marina Molina, asisten profesor periklanan dan hubungan masyarakat Michigan State University menerangkan, sebenarnya manusia dan kecerdasan buatan punya kelebihan dan kekurangan dalam menguraikan informasi.

Baca Juga: Ilmuwan Kembangkan Video Gim yang Menyesuaikan dengan Emosi Pemain

Baca Juga: Algoritma Internet Kita Ternyata Punya Bias dalam Kesetaraan Gender

Baca Juga: Mungkinkah Kelak Sistem Pemerataan Keuangan Dibantu Kecerdasan Buatan?