Dunia Hewan: Miris, Tikus Rawa Asin San Francisco Kini Terancam Punah

By Wawan Setiawan, Selasa, 20 September 2022 | 14:00 WIB
Seekor tikus pemanen rawa asin berjalan melintasi rumput gajah di Area Margasatwa Pulau Grizzly di San Francisco. Menurut studi baru, tikus ini menjadi salah satu mamalia kecil di dunia hewan yang terancam punah. (Cody Aylward/UC Davis)

Nationalgeographic.co.id - Dari spesies marmut hingga tikus tanah, celurut, dan tikus-tikus kecil, banyak mamalia yang terancam punah di dunia hewan yang berukuran kecil. Pengambilan sampel genetik penting untuk memahami cara melestarikan dan melindungi populasi mereka. Akan tetapi menemukan cara yang efisien dan non-invasi untuk mengumpulkan sampel genetik dari hewan kecil ini dapat menjadi tantangan.

Sebuah studi dari University of California, Davis, menjelaskan teknik survei genetik non-invasi baru untuk tikus panen rawa asin yang terancam punah. Mereka adalah mamalia kecil yang hidup hanya di rawa pasang surut di San Francisco Bay Estuary.

Pada mamalia yang lebih besar, para ilmuwan sering mengumpulkan sampel dari kotoran. Akan tetapi kotoran hewan kecil bisa sangat kecil sehingga sulit dideteksi di alam liar.

Teknik baru ilmuwan ini akan diterbitkan dalam Journal of Mammalogy dengan judul "A novel noninvasive genetic survey technique for small mammals." Mereka menggunakan kombinasi stasiun umpan dan genetika untuk mengambil sampel dan mengidentifikasi tikus pemanen rawa asin, atau biasa dijuluki “salties”.

Spesies ini telah kehilangan lebih dari 90% habitatnya untuk pembangunan dan juga terancam oleh naiknya permukaan laut. Itulah mengapa sangat penting bahwa populasi yang tersisa diidentifikasi secara akurat dan efisien, catat para penulis.

Tikus panen rawa asin yang terancam punah adalah endemik di San Francisco Bay Area dan mudah disalahartikan sebagai tikus panen barat yang melimpah. (William Thein)

Tekniknya sederhana: Para ilmuwan mengumpan kotak dengan camilan biji-bijian, millet dan gandum, lalu meletakkan alas tidur kapas. Tikus bebas datang dan pergi. Seorang peneliti kembali seminggu kemudian untuk mengumpulkan pelet tinja untuk pengambilan sampel genetik di laboratorium. Di sana, tes identifikasi spesies yang unik membedakan sampel tikus panen rawa asin dari tikus lain yang mungkin telah menggunakan kotak umpan.

Membandingkan proses itu dengan metode perangkap hidup yang lebih umum dan intensif: Sebuah tim yang terdiri dari tiga hingga lima peneliti memeriksa perangkap saat matahari terbit dan terbenam selama beberapa hari berturut-turut. Untuk mencegah tenggelamnya hewan, perangkap tersebut harus ditempatkan di atas garis pasang surut, mengesampingkan beberapa daerah habitat rawa pasang surut. Namun dengan teknik non-invasi baru, tikus dapat pergi kapan saja. Sehingga memungkinkan para peneliti untuk memantau lebih banyak rawa dan lebih banyak tikus, dengan aman dan efisien.

 Baca Juga: Dunia Hewan: Mengapa Kucing Senang Bermain dengan Mangsanya?

 Baca Juga: Dunia Hewan: Tikus-Tikus di Area Ini Tumbuh Lebih Besar, Apa Sebabnya?

 Baca Juga: Invasi Tikus Mengambil Alih Pulau di Polinesia, Pelestari Bersiasat

"Metode identifikasi genetik kami sederhana, murah, dan dapat disesuaikan dengan sistem mamalia kecil lainnya," kata penulis utama Cody Aylward, lulusan baru dan mantan mahasiswa doktoral Unit Ekologi dan Konservasi Mamalia di UC Davis School of Veterinary Medicine. "Saya harap seseorang yang mempelajari hewan kecil yang terancam punah di suatu tempat membaca penelitian ini dan berkata, 'Itu sesuatu yang bisa saya lakukan.'"