Sampai pada meletusnya pemberontakan Gestapu, film propaganda yang digarap era Orde Baru memunculkan Genjer-Genjer sebagai musik latar yang dinyanyikan selama proses mengerikan itu menimpa para Jendral dan Perwira.
Baca Juga: Terbuangnya Generasi Intelektual Indonesia Setelah Peristiwa 1965
Baca Juga: Nasib Keluarga Dipa Nusantara Aidit Sesudah Malam 30 September
Baca Juga: Senandung Sendu Seniman Ketoprak Ketika Terseret Pusaran Geger 1965
Alhasil, berpuluh-puluh tahun sejak peristiwa Gestapu tahun 1965, "lagu Genjer-Genjer sudah tak lagi syahdu terdengar di telinga," terang Utan dalam makalahnya. Ia menjadi barang haram yang berusaha dilupakan sejarah.
Jika berbicara tentang lagu perjuangan, nasib Genjer-Genjer berbeda dengan lagu "Bincarung". Meski bertema lagu di masa perjuangan, mereka sejatinya bertarung secara ideologis.
Genjer-Genjer yang muncul sebagai musik yang terstigma penuh kengerian, berbeda halnya dengan Bincarung yang dibuat oleh kelompok musikal bentukan militer Orde Baru.
Kelompok ini mentas di beberapa kota seperti di Subang, Purwakarta, dan Cirebon. Mereka bersafari mempropaganda arti penting Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan dasar negara melalui syair-syair lagunya.
Selain itu, Bincarung dianggap sebagai upaya untuk menetralisir suasana traumatik setelah terjadinya tragedi Gestapu, khususnya tentang isu kemunculan kembali benih-benih komunisme di Jawa Barat.
Genjer-Genjer menjadi semakin tenggelam, lagu ini diharamkan untuk diputar sepanjang Orde Baru berkuasa. Kejadian ini sempat dirasakan, saat sebuah stasiun radio di Solo dirusak massa akibat memutar lagu tersebut.
Adanya Bincarung sebagai jawaban dari ketakutan rakyat, seolah menjadi tandingan lagu ideologis dari Genjer-Genjer yang sampai hari ini dipandang haram.