Nationalgeographic.co.id—Abdullah Aidit, anak Haji Ismail, merupakan anak dari soerang saudagar penjual ikan. Abdullah yang merupakan mantri kehutanan, merupakan jabatan yang bergengsi di zamannya.
"Abdullah memiliki puluhan sero, semacam penangkapan ikan di laut dan pemasok ikan terbesar ke sejumlah pasar," tulis Arif Zulkifli dan Bagja Hidayat dalam buku Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara yang terbit pada 2010.
Abdullah menikah dengan Mailan. Ayah Mailan, Ki Agus Haji Abdul Rachman adalah orang yang terpandang di Belitung. Titel "Ki" pada nama itu mencirikan ia ningrat. Dia juga tuan tanah.
Berada dalam kondisi lingkungan keluarga terpandang, membuat Abdullah dan keluarganya dekat dengan polisi-polisi Hindia Belanda di tangsi, orang-orang Tionghoa di pasar, dan none-none Belanda di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, sebuah perusahaan tambang timah milik Belanda.
"Selain mudah bergaul dengan tuan-tuan Belanda, anak-anak Abdullah juga gampang masuk Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah menengah pemerintah Belanda ketika itu," tambahnya.
Sebut saja Achmad Aidit, salah satu dari delapan anak Abdullah Aidit dan Mailan. Achmad Aidit lahir dalam kondisi keluarga terpandang pada 30 Juli 1923 di Jalan Belantu 3, Pangkallalang, Belitung.
Walaupun dididik di sekolah Belanda, anak-anak Abdullah tumbuh dalam keluarga yang rajin beribadah. Sebagaimana arahan Abdullah, anak-anaknya hidup dalam lingkungan Islam yang baik.
Pendidikan Islam yang ditanamkan kepada anak-anaknya ia dapatkan karena perantauan keagamaannya. Abdullah juga berperan dalam pendirian Nurul Islam, organisasi pendidikan Islam dekat kawasan pecinan di kota itu.
Setiap pulang sekolah, Achmad Aidit dan adik-adiknya selalu belajar mengaji. Guru mereka Abdurracham, merupakan adik ipar Abdullah—adik kandung Mailan.
Setelah mengaji, Achmad—panggilan kecil Aidit—dan adik-adiknya menuju ke sungai untuk mengambil air. Sebagai kakak tertua, Achmad biasanya membawa jeriken paling besar.
Orang-orang di Jalan Belantu mengenal Achmad Aidit sebagai muazin alias tukang azan. Suaranya lantang dan berani melantunkan panggilan salat. Seperti di sebagian besar wilayah Indonesia saat itu, Belitung juga belum punya pengeras suara guna mengumandangkan azan.
Source | : | Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR