"Karena suara Bang Achmad (Aidit) keras, dia kerap diminta mengumandangkan azan," kata Murad Aidit, adik kandung Achmad Aidit dalam tulisan Arif dan Bagja.
Baca Juga: Terbuangnya Generasi Intelektual Indonesia Setelah Peristiwa 1965
Baca Juga: Nasib Keluarga Dipa Nusantara Aidit Sesudah Malam 30 September
Baca Juga: Senandung Sendu Seniman Ketoprak Ketika Terseret Pusaran Geger 1965
Selain dikenal sebagai pelantun panggilan salat, sang muazin cilik itu juga memiliki pergaulan dengan buruh di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, perusahaan di wilayahnya. Secara pergaulan, Achmad selalu lebih dewasa dibanding anak seusianya.
Pergaulannya dengan buruh itu bertahan sampai usianya menginjak remaja. Saat mulai berpikir secara kritis, Achmad agaknya tertarik dan simpati pada kaum buruh. Saban hari ia selalu melihat buruh berlumur lumpur, bermandi keringat, dan hidup susah.
Pergaulan dengan kaum buruh itu, barangkali menentukan jalan pikiran dan sikap politik Achmad Aidit setelah di Jakarta. Ia lantas menggunakan "Dipa Nusantara" sebagai nama panggungnya.
Ia terlibat aktif dalam menyuarakan isu-isu politik tentang buruh. Tak ayal, ia masuk jajaran front komunis yang cenderung dipenuhi kalangan buruh dan pekerja kasar. Dari aktivismenya ini, nama Aidit terus melambung.
Keaktifannya dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) membuatnya dipercaya untuk memimpin gerakan politik itu. Dipa Nusantara Aidit kemudian dikenal sebagai salah seorang di balik peristiwa paling berdarah yang dikenal dengan Gerakan 30 September atau G30S/PKI.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR