58,2% Penggundulan Hutan Tropis oleh Pertambangan Terjadi di Indonesia

By Utomo Priyambodo, Rabu, 21 September 2022 | 13:00 WIB
Sisa-sisa hutan yang masih tersisa di Aceh. Pembukaan areal perkebunan dan pertambangan telah membuat area hutan tropis di sana mengecil. (Junaidi/Fotokita.net)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi baru mengungkapkan bahwa lebih dari separuh penggundulan hutan tropis dunia yang disebabkan langsung oleh pertambangan industri terjadi di Indonesia. Negara-negara lain yang mengalami deforestasi tropis besar akibat pertambangan industri adalah Brasil, Ghana, dan Suriname.

Makalah laporan studi ini telah terbit di jurnal internasional PNAS pada 12 September 2022. Hasil studi ini menunjukkan bahwa, dari 26 negara, Indonesia menyumbang 58,2% dari deforestasi tropis yang secara langsung disebabkan oleh kegiatan pertambangan industri.

Studi ini menggarisbawahi perlunya langkah-langkah yang lebih kuat untuk melindungi hutan tropis di Indonesia dan negara-negara terdampak lainnya dari kegiatan ekonomi yang merusak seperti pertambangan.

Dalam studi ini para peneliti membandingkan koordinat geografis tambang industri yang beroperasi dari tahun 2000-2019 dengan data hilangnya hutan untuk periode yang sama berdasarkan dataset Global Forest Change. Data tersebut mencakup 26 negara yang mewakili 76,7% dari total deforestasi tropis yang teramati dari tahun 2000-2019.

Ekstraksi batu bara di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia, mendorong deforestasi terkait pertambangan di negara ini. Deforestasi dari penambangan bijih besi dan emas di negara bagian Minas Gerais, Brasil, juga terlihat jelas dalam data satelit, sedangkan penambangan bauksit dan emas mendominasi deforestasi akibat pertambangan di Ghana dan Suriname.

Pertambangan industri juga memiliki dampak tidak langsung yang meluas terhadap deforestasi. Lebih dari dua pertiga negara yang diteliti ternyata memiliki tingkat deforestasi yang lebih tinggi di wilayah dalam jarak 50 kilometer dari area yang ditetapkan untuk tambang dan ini tidak terkait dengan faktor lain.

“Menghadapi permintaan mineral yang berkembang pesat, khususnya logam untuk energi terbarukan dan teknologi e-mobilitas, kebijakan pemerintah dan industri harus mempertimbangkan dampak langsung dan tidak langsung dari ekstraksi,” kata Anthony Bebbington, Higgins Profesor Lingkungan dan Masyarakat di Clark University’s Graduate School of Geography yang menjadi salah satu penulis dalam penelitian ini.

“Mengatasi dampak ini adalah cara penting untuk melestarikan hutan tropis dan melindungi mata pencaharian masyarakat yang tinggal di hutan ini,” ujarnya seperti dikutip dari EurekAlert.

Baca Juga: Kebakaran Deforestasi Indonesia Sumbang 7% Emisi Gas Rumah Kaca Dunia

Baca Juga: Penggundulan Hutan untuk Sawit di Indonesia Turun, tapi Banyak Catatan

Baca Juga: Elang Terbesar di Dunia Sedang dalam Bahaya karena Penggundulan Hutan 

Untuk Indonesia, Brasil, dan Ghana, deforestasi tropis dari pertambangan industri mencapai puncaknya dari tahun 2010-2014, tetapi masih terus berlanjut hingga hari ini. Pertambangan batu bara di Indonesia khususnya meningkat dua kali lipat pada periode ini karena produksi tumbuh untuk mengimbangi peningkatan permintaan dari Tiongkok dan India.

Studi ini belum memasukkan dampak deforestasi langsung dari penambangan artisanal dan skala kecil. Sebab, database global standar dengan koordinat geografis untuk operasi tersebut belum ada dalam bentuk yang dapat menerima analisis statistik.

Para peneliti dalam studi ini mengakui bahwa penambangan artisanal dan skala kecil, serta penambangan ilegal, juga turut menghasilkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Jadi kegiatan ini perlu mendapatkan pengawasan, respons, dan remediasi.

Bagaimanapun, dalam skala idustri, kerusakan hutan di Indonesia jelas menonjol dalam penelitian ini, terutama di Kalimantan Timur yang kehilangan 19% tutupan pohonnya dalam dua dekade terakhir. Provinsi yang menjadi pusat pertambangan batu bara di Indonesia itu kini juga jadi tuan rumah lokasi pembangunan ibu kota nasional masa depan. Sebuah ibu kota baru negara akan dibangun di area yang dulunya pernah jadi area perkebunan kayu dan bahkan juga hutan tropis itu.

Studi baru ini menegaskan perlunya Pernyataan Dampak Lingkungan dan persyaratan perizinan lainnya untuk pertambangan industri. Dokumen ini sebaiknya memasukkan cakupan geografis yang lebih luas yang mencakup lebih banyak wilayah di luar wilayah konsesi proyek pertambangan.

“Ada berbagai kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh operasi pertambangan selain deforestasi, termasuk perusakan ekosistem, hilangnya keanekaragaman hayati, gangguan sumber air, produksi limbah berbahaya, dan polusi,” kata Stefan Giljum, penulis utama ini yang juga merupakan profesor di Institute for Ecological Economics, Vienna University of Economics and Business.

“Perizinan pemerintah harus mempertimbangkan semua ini; tambang industri dapat dengan mudah mengganggu lanskap dan ekosistem. Pertambangan industri tetap menjadi kelemahan tersembunyi dalam strategi mereka untuk meminimalkan dampak lingkungan.”

“Meskipun total deforestasi Indonesia telah menurun setiap tahun sejak 2015, temuan ini menekankan perlunya perencanaan penggunaan lahan yang kuat untuk memastikan penambangan tidak merusak hutan atau melanggar hak masyarakat,” kata Hariadi Kartodihardjo, Profesor Kebijakan Hutan di Institut Pertanian Bogor.

Penelitian sebelumnya di Amazon Brasil telah menunjukkan bahwa mengakui dan menegakkan hak milik kolektif masyarakat adat dan komunitas lokal adalah salah satu cara paling efektif untuk mencegah deforestasi. Sebab, deforestasi di wilayah mereka jauh lebih rendah daripada di tempat-tempat yang dikelola oleh pemerintah atau entitas swasta lain.

Laporan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa terbaru juga setuju, dengan menyatakan: “Mendukung penentuan nasib sendiri masyarakat adat, mengakui hak-hak masyarakat adat, dan mendukung adaptasi berbasis pengetahuan masyarakat adat sangat penting untuk mengurangi risiko perubahan iklim dan adaptasi yang efektif.”