Banjir Bandang Surakarta 1966 Hanyutkan Mayat Penumpasan PKI

By Galih Pranata, Jumat, 23 September 2022 | 15:00 WIB
Ilustrasi sejumlah mayat di aliran sungai Bengawan Solo dalam sebuah video dokumenter berjudul Jembatan Bacem: Film Dokumenter Tentang Genosida 1965-1966 di Solo garapan Yayan Wiludiharto yang rilis pertama kali pada tahun 2013. (Yayan Wiludiharto/Jembatan Bacem (2013)/Youtube)

Nationalgeographic.co.id—Melihat Kota Solo hari ini, tergambar daerah yang tenang dan damai. Namun siapa sangka, dalam rentang sejarahnya, kota ini sempat mengalami kekacauan publik di tahun-tahun politik 1965-1966.

Saya bertemu dengan Ahsanudin, seorang guru di salah satu sekolah swasta kenamaan di Surakarta. Ia melukiskan pengalamannya dari kisah yang diturunkan dari ibu-bapaknya, tentang getirnya hidup berdampingan dengan PKI

"Di rumah saya, daerah Semanggi (Surakarta), salah satu basis PKI di Kota Solo," tutur pak Ahsan—begitu ia biasa dipanggil. Sejak kecil, ibunya mengisahkan tentang tantangan yang dihadapi ayahnya semasa masih aktif dalam pusaran politik.

Sejak muda, ayahnya merupakan aktifis pergerakan HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia) dan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Sejak keterlibatannya dengan GPII, ditambah lagi dengan profesinya sebagai pengajar di sekolah Islam (SMA Al Islam 1 Surakarta), Mulyadi, ayah Ahsanudin mulai bersinggungan dengan kecaman PKI.

Aliah Hidayati menulis dalam jurnal Tsaqofah berjudul "Konflik PKI dan Masyumi: Kajian Tragedi Babakan Pandeglang 1958" (2016), menyebut adanya resistensi antara PKI (golongan kiri) dengan kalangan agamis (golongan kanan) karena perbedaan pandangan dan ideologi.

Dalam kisahnya, keluarga Ahsanudin kerap jadi bahan olok-olok tetangganya (PKI) yang sentimen terhadap keluarganya (agamis). "Setiap ke masjid, selalu ada sindiran dari tetangga yang ga suka dengan keluarga saya," imbuhnya.

Sampai pada puncaknya, PKI mulai melancarkan misi pembunuhan kepada para targetnya yang merupakan lawan politiknya. Banyak kisah yang sudah dibuktikan tentang upaya penguburan hidup-hidup para penyintas peristiwa berdarah kala itu. 

"Bentuk pembunuhan oleh PKI antara lain dikubur hidup-hidup setelah disiksa," terangnya. PKI diketahui telah menyiapkan lubang-lubang di perkampungan untuk menanam targetnya secara hidup-hidup. Tindakan yang kejam dari skema pembunuhan mereka. 

"Kalau jumpa dengan bapak saya siang hari, mereka baik. Tapi, kalau malam, mereka (berupaya) menculik ayah untuk dibunuh," terus Ahsan. Kesuraman terus menghampiri keluarga yang jadi incaran PKI. Bisa dikatakan mereka hidup tak tenang.

Sampai tibalah malam berdarah 30 September 1965 yang membawa PKI ke babak baru. Mereka dicap penjahat yang liar dan berbahaya. Kondisi Surakarta menjadi genting karena PKI yang semakin meresahkan. 

Ilustrasi tekanan fisik dan mental kepada oknum PKI dalam sebuah video dokumenter berjudul Jembatan Bacem: Film Dokumenter Tentang Genosida 1965-1966 di Solo garapan Yayan Wiludiharto yang rilis pertama kali pada tahun 2013. (Yayan Wiludiharto/Jembatan Bacem (2013)/Youtube)

Inilah yang membuat Mulyadi tak tidur di rumah dengan anak istrinya selama beberapa minggu, takut-takut dibunuh PKI! "Bapak tidak tidur di rumah kira-kira mulai tanggal 2 Oktober sampai 22 Oktober 1965," ungkapnya. 

Kondisi berangsur kondusif manakala pasukan RPKAD telah masuk ke perkampungan. RPKAD merupakan satuan militer anti-PKI, mulai merangsek ke sejumlah pelosok daerah dalam misi penumpasan PKI sampai ke akarnya. Tahun 1965 ini menjadikan sejumlah kekacauan di Surakarta.

RPKAD telah mendapat dukungan dari rakyat karena merupakan satuan militer yang menunjukkan sikap anti-PKI. Ia dianggap sebagai motor penumpasan di saat TNI telah disusupi oleh orang-orang yang pro terhadap PKI. 

 Baca Juga: Hari Kesaktian Pancasila dan Sejarah Erat Terkait dengan Gestapu 1965

 Baca Juga: Terbuangnya Generasi Intelektual Indonesia Setelah Peristiwa 1965

 Baca Juga: Kisah Perempuan Penyintas Tragedi 1965 : Ada Kekuasaan di Atas Pemerkosaan

RPKAD diutus untuk membangun keberanian laskar-laskar sipil, dimana Banser Pemuda Ansor, HMI, GPII, dan Muhammadiyah bergerak satu poros untuk membasmi Pemuda Rakyat dan PKI. Mulyadi mendapat momentum untuk "pegang senjata" dan ikut menumpas lawan politiknya.

Alhasil, sepanjang tahun 1965-1966, penangkapan besar-besaran dilakukan. Seluruh massa yang terlibat PKI dikumpulkan di Sasana Mulya dan Pagelaran Keraton, serta Balai Kota Surakarta untuk diadili. Mereka kemudian diinterogasi oleh petugas dengan pengawalan laskar sipil.

"Mereka mengalami tekanan fisik dan mental dulu kemudian ditembak, setelah itu dibuang ke Bengawan(sungai)," tutur Ahsan. Pemandangan ngeri meliputi sepanjang hamparan sungai Bengawan Solo. Mayat-mayat penumpasan PKI bergelimpangan di sungai yang mengering karena kemarau.

Sepanjang Februari 1966, Kabupaten Wonogiri yang merupakan hulu sungai Bengawan, terus menerus hujan lebat. Kondisi di sana bahkan banjir yang kemudian airnya menggenangi seluruh aliran sungai. Hal ini meluap hingga tanggul di Semanggi akhirnya jebol. 

Banjir dengan volume air yang tinggi di pintu masuk menuju alun-alun utara Keraton Surakarta di tahun 1966. (Solo Zaman Dulu/Facebook)

Air bah itu kemudian naik dan membanjiri pemukiman warga. Volume air yang deras dan tinggi menciptakan banjir bandang pada Maret 1966. "Orang bilang, mukjizat e gusti (mukjizat dari Tuhan)," katanya lagi.

Pascabanjir bandang yang menerjang Surakarta, mayat-mayat hasil penumpasan PKI akhirnya hanyut ditarik arusnya. Mereka menghilang begitu saja. Seiring dengan hilangnya sejumlah mayat dari pandangan kota Solo, kegaduhan politik akibat PKI pun mereda pascabanjir.