Nationalgeographic.co.id—Sebagian besar masyarakat dunia bisa jadi tidak mengetahui tentang sejumlah orang yang tinggal di dataran tinggi Papua Nugini. Sampai sekitar tahun 1930-an, berita tentang sejumlah komunitas ini mulai terpublikasi.
"Kala itu, seorang pencari emas Australia yang menyurvei daerah itu menyadari bahwa di dataran tinggi itu telah dihuni sekitar satu juta orang di sana," tulis Rae Ellen Bichell kepada NPR.
Ellen menulisnya dalam sebuah artikel berjudul "When People Ate People, A Strange Disease Emerged" yang terbit pada 6 September 2016. Ketika para peneliti melakukan perjalanan ke desa-desa itu pada 1950-an, mereka menemukan sesuatu yang mengganggu.
Di antara suku sekitar 11.000 orang yang disebut Fore, hingga 200 orang per tahun meninggal karena penyakit yang tidak dapat dijelaskan. Mereka menyebut penyakit itu kuru, yang berarti "menggigil" atau "gemetar".
Setelah gejala muncul, kematian akan menghampiri begitu cepat. Gejala pertama, mereka akan kesulitan berjalan, pertanda bahwa mereka akan kehilangan kendali atas anggota tubuh mereka.
Mereka juga kehilangan kendali atas emosi mereka, itulah sebabnya orang menyebutnya "kematian karena tertawa". Mereka bisa tertawa tanpa ada sebab, sistem saraf mulai sulit dikendalikan.
Mengerikannya, sebuah laporan menyebutkan bahwa dalam setahun mereka tidak bisa bangun dari lantai. Banyak penduduk setempat yakin itu adalah hasil dari sihir. Penyakit ini terutama menyerang wanita dewasa dan anak-anak di bawah 8 tahun.
Di beberapa desa, hampir tidak ada perempuan muda yang tersisa, akibat menurunnya populasi penduduk perempuan. Mereka terobsesi untuk mencoba menyelamatkan diri karena mereka tahu secara demografis, mereka berada di ambang kepunahan!
Lantas, apa yang menyebabkan kematian massal yang tak wajar itu terjadi? Jawaban itu luput dari para peneliti selama bertahun-tahun. Setelah mengesampingkan daftar kontaminan yang lengkap, mereka hanya mengira sebagai masalah genetik.
Pada tahun 1961, Lindenbaum melakukan perjalanan dari desa ke desa memetakan silsilah keluarga sehingga para peneliti dapat menyelesaikan masalah tersebut. Namun Lindenbaum, yang terus menulis tentang epidemi, tahu bahwa masalah itu bukan karena genetika.
Lindenbaum memiliki firasat tentang apa yang sedang terjadi, dan ternyata firasatnya benar. Masalah itu ada hubungannya dengan pemakaman. Secara khusus, terdapat hubungan kematian aneh dengan tradisi memakan mayat di permakaman.
"Di banyak desa, ketika seseorang meninggal, mereka akan dimasak dan dikonsumsi. Itu adalah tindakan nyata dari perasaan cinta dan kesedihan," imbuh Rae Ellen. Orang Fore percaya:
"Jika jenazah dikubur akan dimakan cacing; jika diletakkan di atas panggung akan dimakan belatung; Fore percaya bahwa jauh lebih baik jenazah dimakan oleh orang yang menyayangi almarhum daripada oleh cacing dan serangga."
Perempuan akan membuang otaknya, mencampurnya dengan pakis, dan memasaknya dalam tabung bambu. Mereka memanggang api dan memakan semuanya kecuali kantong empedu. Akan tetapi para ibu kadang-kadang akan menghidangkan potongan-potongan jenazah kepada anak-anak sebagai "camilan."
Baca Juga: Tengkorak Korban Tsunami Tertua Sedunia Ditemukan di Papua Nugini
Baca Juga: Penyihir di Papua Nugini, Perburuan Mematikan yang Bertahan Hidup
Baca Juga: Bagaimana Cara Tradisi Pembuatan Mumi Suku Anga di Papua Nugini?
Akhirnya, setelah didesak oleh para peneliti seperti Lindenbaum, para ahli biologi sampai pada gagasan bahwa penyakit aneh dan tak wajar itu berasal dari memakan bangkai orang mati.
Kasus ini ditutup dan menjadi jelas setelah sekelompok peneliti di US National Institutes of Health menyuntikkan otak manusia yang terinfeksi ke simpanse, dan mengamati gejala kuru berkembang pada hewan tersebut beberapa bulan kemudian.
Namun, penyakit itu bukan dari virus—atau bakteri, jamur, atau parasit. Itu merupakan infeksi yang sama sekali baru, yang tidak memiliki materi genetik, bisa bertahan hidup direbus, dan bahkan tidak hidup.
Meskipun Fore menghentikan praktik pesta kamar mayat lebih dari 50 tahun yang lalu, kasus kuru terus muncul selama bertahun-tahun, karena "prion" bisa memakan waktu puluhan tahun untuk menunjukkan efeknya.
Prion dapat dikatakan sebagai penyakit yang diduga mirip seperti kuru, dimana terjadi kerusakan kantong sel saraf di otak, meninggalkan otak penuh dengan lubang, seperti spons.
Belay mengatakan penyakit ini "sedikit mengkhawatirkan" karena, tidak seperti penyakit sapi gila dan kuru, di mana prion menular terkonsentrasi di otak dan jaringan sistem saraf.
Hingga kini, otoritas kesehatan di Papua Nugini masih berupaya untuk menanggulangi bencana penyakit ini untuk mewaspadai kepunahan suku Fore.