Nationalgeographic.co.id—Penambangan emas telah lama dikaitkan dengan degradasi parah dan deforestasi di hutan tropis. Masalahnya juga tidak hanya sampai di situ, tantangan biofisik yang terkait dengan pemulihan lanskap ini secara efektif juga menjadi masalah setelahnya.
Lantas, mungkinkah penambangan emas lebih berkelanjutan? Sekarang, studi baru dari ilmuwan Yale University berfokus pada efek penambangan emas permukaan di daerah tropis, masalah lingkungan yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir.
"Penambangan emas permukaan sangat merusak lanskap, menyebabkan deforestasi, erosi dan pemindahan tanah, dan kontaminasi racun," tulis peneliti.
"Dalam tinjauan ini, kami merangkum tantangan biofisik untuk restorasi dan reboisasi tambang emas skala besar dan kecil di daerah tropis dan mensintesis temuan studi yang menguji strategi restorasi di lokasi tersebut."
Laporan studi mereka telah diterbitkan di journal Land Degradation and Development yang merupakan jurnal akses terbuka. Makalah tersebut bisa didapatkan secara daring dengan judul "Tropical surface gold mining: A review of ecological impacts and restoration strategies."
Untuk diketahui, menurut sebuah studi pada tahun 2012, pertambangan menyumbang 7 persen dari deforestasi di negara-negara berkembang dan teknik penambangan emas skala besar dan berteknologi tinggi. Sementara skala kecil seperti penambangan terbuka dan pengerukan menjadi lebih umum di Amazon dan Afrika Barat.
Para penulis, yang termasuk Profesor Yale University, Mark Ashton dan mahasiswa doktoral Yale University, David Woodbury, berfokus terutama pada penambangan emas. Topik yang "relevan untuk momen khusus ini," kata Timsina.
Penambangan emas menjadi lebih umum, jelasnya, baik karena penting untuk manufaktur elektronik dan produksi energi alternatif, dan biaya emas yang terus meningkat membuat proyek penambangan yang sebelumnya tidak layak menjadi lebih menguntungkan.
Namun, secara lingkungan, hasilnya mahal. "Anda bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan penambangan permukaan ke daerah sekitarnya," kata Hardy.
"Ini benar-benar membentuk kembali topografi. Ini juga menguras dan mengganggu lapisan atas tanah yang mengandung nutrisi dan benih yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, dan daerah tropis sering memiliki tanah yang miskin nutrisi."
Baca Juga: 58,2% Penggundulan Hutan Tropis oleh Pertambangan Terjadi di Indonesia
Baca Juga: Sumpah di Perbukitan Mollo, Kemenangan Kaum Ibu Melawan Pertambangan
Baca Juga: Dampak Penambangan di Kamerun: Nyawa dan Rusaknya Lingkungan
Penambangan permukaan juga dapat berdampak pada hidrologi lokal. Banyak polutan, termasuk merkuri dan sianida, digunakan dalam proses pemurnian emas dan dapat mencemari tanah dan sumber air terdekat.
Timsina mengatakan strategi penahanan yang efektif terhadap polutan ini harus digunakan bersamaan dengan teknik restorasi lahan untuk membantu pertumbuhan kembali tanaman dan memastikan kesehatan komunitas manusia di sekitarnya.
Para peneliti juga menyelidiki kemungkinan strategi restorasi untuk area yang ditambang, terutama konservasi tanah lapisan atas. Karena memulihkan kesehatan tanah setelah penambangan adalah proses yang panjang dan mahal.
Mereka menekankan pentingnya praktik konservasi tanah lapisan atas, yaitu memindahkan tanah lapisan atas sebelum penambangan dan menyimpannya secara terpisah untuk melestarikan nutrisi dan benih. Sehingga kemudian dapat dikembalikan ke lokasi penambangan ketika operasi selesai.
"Kesehatan tanah menjadi tantangan utama untuk penghijauan setelah penambangan," kata Hardy. "Dengan menyimpan lapisan tanah atas, Anda setidaknya memiliki dasar untuk memulai dan tidak memulai dari nol."
Para peneliti juga menemukan bahwa ada spesies tanaman tertentu yang lebih cocok untuk bertahan hidup dalam kondisi tanah yang dihasilkan dari penambangan.
Bila memungkinkan, mengintegrasikan strategi regenerasi alami dengan pengenalan kembali tanaman yang kuat ini, kata mereka, memungkinkan daerah yang terdegradasi dapat dipulihkan menjadi hutan.
Karena penambangan permukaan terus meningkat di seluruh daerah tropis, penulis menyoroti kebutuhan untuk melanjutkan penelitian restorasi di lapangan untuk membantu memastikan pemulihan hutan tropis.