Nationalgeographic.co.id - Di zaman modern, Halloween menjadi salah satu perayaan yang dinantikan. Biasanya, orang-orang akan mengenakan kostum bernuansa seram untuk merayakannya. Halloween sebenarnya merupakan perayaan yang mengawali peringatan trihari Masa Para Kudus. Perayaan tersebut didedikasikan untuk mengenang mereka yang sudah meninggal dunia. Bangsa Romawi kuno pun melakukan tradisi yang sama yaitu Lemuria. Festival Lemuria adalah Halloween ala bangsa Romawi untuk mengenang orang mati.
Pemujaan Lemuria dan leluhur
Lemuria berlangsung pada tiga hari berbeda di bulan Mei. Pada tanggal 9, 11, dan 13 bulan itu, keluarga Romawi memberikan persembahan kepada leluhur mereka yang telah meninggal. “Ini untuk memastikan agar para leluhur tidak menghantui mereka yang masih hidup,” tulis Carly Silver di laman Thoughtco.
Penyair besar Ovid mencatat festival-festival Romawi dalam Fasti-nya. Dalam rubriknya di bulan Mei, ia membahas tentang Lemuria.
Ovid berpendapat bahwa festival itu mendapatkan namanya dari Remuria, festival yang dipersembahkan untuk Remus, saudara kembar Romulus. Konon Romulus membunuh saudara kembarnya itu setelah mendirikan Kota Roma.
Remus muncul sebagai hantu setelah kematiannya dan meminta teman saudaranya untuk membuat generasi mendatang menghormatinya. Kata Ovid, “Romulus memenuhinya. Remuria dilakukan pada hari di mana pemujaan diberikan kepada leluhur yang dikuburkan.”
Akhirnya Remuria menjadi Lemuria. Namun, para sarjana meragukan etimologi itu. Sebagian berpendapat bahwa Lemuria berasal dari kata lemures, salah satu roh yang melindungi rumah tangga Romawi kuno.
Upacara untuk merayakan orang mati di Romawi
Selama upacara, orang Romawi menghindari adanya simpul. Beberapa ahli berteori bahwa simpul dilarang untuk memungkinkan kekuatan alam mengalir dengan baik.
Pada tengah malam pada hari terakhir Lemuria, paterfamilia Romawi—kepala keluarga—akan bangun dan mengenakan pakaian khusus. Tidak ada gesper, peniti, atau barang lain yang diizinkan dan dia harus bertelanjang kaki.
Baca Juga: Suka atau Tidak, Halloween akan Terus Menjadi Festival Global
Baca Juga: Festival Gorehabba di India, Saling Lempar Kotoran Sapi demi Kesehatan
Baca Juga: Festival Darah Lupercalia dan Legenda Si Kembar Romulus dan Remus
Paterfamilia akan membuat tanda manus fico (kepalan dengan ibu jari di antara jari pertama dan kedua, yang dianggap sebagai tanda kesuburan dan keberuntungan karena dimaksudkan untuk mewakili lingga).
Dia kemudian akan memasukkan sembilan kacang fava hitam mentah ke dalam mulutnya dan meludahkannya satu-satu. Sambil berjalan di sekitar rumah sambil berkata, ia berkata "Dengan kacang ini, saya menebus saya dan milik saya."
“Lemur atau roh akan membungkuk untuk mengambilnya, karena kacang itu dianggap mengandung jiwa orang mati,” ungkap Kristina Killgrove di laman Forbes. Ketika semua kacang telah dimuntahkan, paterfamilia membersihkan tangannya dan berkata, sembilan kali, "Hantu ayahku, pergilah."
Dengan membuang kacang, orang Romawi kuno percaya bahwa mereka menghilangkan roh berbahaya dari rumah. “Menurut Ovid, arwah akan mengikuti kacang dan meninggalkan makhluk hidup,” Silver menambahkan.
Ini bukan ilmu hitam seperti yang kita bayangkan. Bagi orang Romawi, roh leluhur harus didamaikan saat festival itu. Jika tidak dilakukan ritual, roh-roh tersebut mungkin dapat membahayakan.
Perayaan orang mati warisan Romawi
Gereja Katolik mengambil unsur-unsur Lemuria. Pada tahun 609 Paus Bonifasius IV mendedikasikan kembali Pantheon Romawi—kuil untuk semua dewa—untuk para martir Kristen. Ia menetapkan tanggal 13 Mei, hari terakhir Lemuria, sebagai hari raya Semua Martir.
Lebih dari dua abad kemudian, Paus Gregorius IV memperluas festival tersebut untuk memasukkan orang-orang kudus juga dan memindahkannya ke 1 November.
Namun pengaruh Romawi pada festival ini tidak pernah hilang sama sekali. Praktik memurnikan rumah jiwa orang mati dilakukan saat ini dengan memanggang ossa dei morti atau tulang orang mati dalam budaya Italia. Ini adalah kue yang biasanya dibuat dengan pasta almond dan dibentuk seperti tulang jari, tibia, atau kacang fava.
Disajikan pada tanggal 2 November, All Souls Day, kue ini menghubungkan budaya Italia kontemporer dengan nenek moyang Romawi kuno. Juga rasa hormat terhadap mereka yang hidup sebelumnya.