Beda Praktik Homoseksualitas Era Romawi Kuno dan Zaman Modern

By Utomo Priyambodo, Kamis, 3 November 2022 | 11:00 WIB
Pria bebas di Romawi dibolehkan untuk berhubungan seks dengan budak, baik pria maupun wnaita, meski telah memiliki istri. (Charles William Bartlett)

Nationalgeographic.co.id—Tak hanya di zaman modern, praktik homoseksualitas ternyata juga terjadi di era Romawi kuno. Namun, praktik ini tidak sesederhana pertanyaan "gay versus straight."

Di zaman modern saat ini, kebanyakan praktik homoseksualitas terjadi karena mau sama mau atau suka sama suka, selain tentunya ada juga kasus pelecehan dan pemerkosaan. Sebaliknya, homoseksualitas di Romawi kuno adalah perspektif budaya yang jauh lebih kompleks. Di Romawi, persetujuan ataupun ketidaksetujuan aktivitas seksual didasarkan pada status sosial orang-orangnya.

Masyarakat Romawi kuno sangat patriarkal. Untuk para pria, penentuan maskulinitas secara langsung terkait dengan konsep Romawi tentang virtus. Ini adalah salah satu dari beberapa cita-cita yang coba diikuti oleh semua orang Romawi yang lahir bebas.

Patti Winginton, lulusan sejarah dari Ohio University, pernah menulis bahwa virtus adalah personifikasi yang sebagiannya adalah tentang kebajikan. "Tapi ini juga berarti tentang disiplin diri dan kemampuan untuk mengatur diri sendiri dan orang lain. Untuk melangkah lebih jauh, peran aktif imperialisme dan penaklukan yang ditemukan di Romawi kuno sering dibahas dalam istilah metafora seksual," tulisnya di ThoughtCo.

"Karena maskulinitas didasarkan pada kemampuan seseorang untuk menaklukkan, aktivitas homoseksual dipandang dari segi dominasi. Seorang pria yang mengambil peran yang dianggap dominan, atau penetratif, akan berada di bawah pengawasan publik yang jauh lebih sedikit daripada pria yang sedang dipenetrasi, atau 'tunduk'," tulis Winginton.

"Bagi orang-orang Romawi, tindakan "ditaklukkan" menyiratkan bahwa seseorang lemah dan bersedia menyerahkan kebebasannya sebagai warga negara yang bebas. Ini juga mempertanyakan integritas seksualnya secara keseluruhan."

Elizabeth Cytko pernah menulis, "Otonomi tubuh adalah salah satu norma pengaturan seks yang membantu menentukan status seseorang dalam masyarakat ... seorang pria Romawi elite menunjukkan statusnya karena dia tidak dibolehkan untuk dikalahkan, atau dipenetrasi."

Menariknya, orang-orang Romawi tidak memiliki kata-kata khusus yang berarti homoseksual atau heteroseksual. Bukan jenis kelamin yang menentukan apakah pasangan seksual dapat diterima, melainkan status sosial mereka.

Baca Juga: Beda Praktik Perkawinan Sedarah di Era Yunani Kuno dan Romawi Kuno

Baca Juga: Apa Perbedaan antara Kehidupan Romawi Kuno dengan Yunani Kuno?

Baca Juga: Tujuh Penemuan Romawi Kuno: Inovasi yang Berguna hingga Sekarang 

Di Romawi, ada Sensor Romawi, yakni komite pejabat yang menentukan keluarga seseorang layak masuk dalam hierarki sosial mana, dan kadang-kadang mengeluarkan individu dari peringkat atas masyarakat karena pelanggaran seksual. Sekali lagi, ini lebih didasarkan pada status sosial ketimbang gender.