Pelestarian Ekologi dan Arkeologi Kawasan Cagar Budaya Muarajambi

By National Geographic Indonesia, Rabu, 9 November 2022 | 11:00 WIB
Candi Tinggi di Kawasan Cagar Budaya Nasional Muara Jambi. (Feri Latief untuk Museum Nasional Indonesia)

Waktu terbaik untuk melihat keberadaan kanal ini adalah saat musim hujan dan banjir. Karena kanal-kanal ini kembali tergenang air, bahkan kanal yang sudah mengering pun terisi air. Sehingga bentukan kanal-kanal kuno bisa kita saksikan kembali.

Permukiman penduduk yang terdiri dari rumah-rumah panggung akan terlihat jelas alasannya kenapa dibangun dengan desain seperti itu. Nilai intangibel Muarajambi semakin terasa jika banjir melanda. Kecerdasan lokal dalam mengelola lingkungan buatan terlihat.

Saya bisa membayangkan kondisi masa lalu, bukan sekedar rumah-rumah panggung dan rumah-rumah rakit yang dibangun di tepian Batanghari dan kanal-kanal, tapi juga deermaga dan pelantar-pelantar kayunya. Ini juga menjadi ciri kota-kota melayu yang ada di daerah tepi air baik pesisir mau pun sungai. 

Sampai saat ini kita masih bisa melihat konsep rumah panggung dan pelantar-pelantar kayunya (lorong-lorong jalan dari kayu yang didirikan di atas tongga-tonggak) di kota-kota melayu tua, seperti di Pulau Penyengat, Senggarang, Tanjung Pinang, bahkan di Kampung Laut di Kuala Jambi atawa muara Batanghari yang bertepian dengan laut.

Berkembangnya Muarajambi tak lepas dari hubungan perdagangan kerajaan-kerjaan  ada di Nusantara dengan India. Pusat pendidikan Buddha di Muarajambi sama seperti tradisi pendidikan yang ada di Nalanda, India.

Biksu pengelana asal Yanjing, Tiongkok, I-Tsing, pernah dua kali singgah di kerajaan Moloyu (Melayu). Ia menyebutkan bahwa pelajaran, tatacara, Buddha Dharma tidak jauh berbeda dengan yang ada di Nalanda, India. Ia menghabiskan waktu sebelas tahun pendidikan di Nalanda sebelum ke datangan kedua kali ke Tanah Melayu.

Pemugaran candi tetap memperhatikan pelestarian lingkungan. Pohon-pohon besar berusia ratusan tahun tetap dipertahankan, tidak ditebang. (Feri Latief untuk Museum Nasional Indonesia)

Pada akhirnya, memudarnya pusat peribadatan dan pendidikan Buddha Muarajambi dipengaruhi oleh peta politik dunia yang berubah. Saat Muarajambi berkembang pada abad ke-8 sampai ke-13, pada saat yang bersamaan Islam di Timur Tengah, Asia, Afrika dan Eropa mencapai puncak kejayaannya. Pada saat itu juga perdagangan jalur-jalur perdagangan mulai dikuasai pedagang-pedagang muslim.

Kapal dagang dan saudagar-saudagar Buddha yang selama ini sebagai sistem pendukung untuk para biksu belayar dan menyebar ajaran mulai digantikan oleh kapal-kapal saudagar muslim. Sistem pendukung yang tidak berjalan dengan baik ini juga mengakibatkan perubahan di masyarakat.

Buddha perlahan-lahan ditinggalkan dan digantikan Islam yang berkembang di Asia Tenggara. Demikian pula dengan Muarajambi yang mulai sepi dan ditinggalkan umat Buddha. Bahkan di akhir abad ke-13 pusat ajaran Buddha Dharma yang ada di Swarna Dwipa, khususnya Muarajambi, mulai berpindah ke hulu sungai Batanghari, yaitu Dharmasraya.

Warga Muara Jambi memanen padi di Sawah yang terletak di tepi Sungai Batanghari. (Feri Latief untuk Museum Nasional Indonesia)

Tak heran peninggalan Buddha banyak ditemukan juga di hulu sungai Batanghari seperti situs Padang Roco dan situs Pulau Sawah. Keberadaannya terus bertahan sampai zaman Raja Adhityawarman.