Lima Pelajaran yang Bisa Kita Ambil dari Sejarah Jatuhnya Romawi Kuno

By Utomo Priyambodo, Jumat, 11 November 2022 | 16:37 WIB
Kejatuhan Romawi memiliki efek mendalam pada sejarah Eropa. (Thomas Cole/New York Historical Society)

Kaum bangsawan adalah orang-orang yang mendapatkan status terhormat mereka sejak lahir. Adapun kaum plebeian adalah orang-orang biasa yang tidak memiliki cara untuk membuat kehidupan yang lebih baik pada saat itu.

Seperti masyarakat modern kita, kaum plebeian memperjuangkan hak untuk meningkatkan status sosial mereka. Mereka memenangkan persamaan hak, mendapat kesempatan untuk berperan dalam politik Romawi, dan memiliki kesempatan untuk membuat diri mereka kaya. Mereka saling membantu menjadi kaya, memilih sesama plebeian untuk berkuasa, dan kemudian duduk dan menunggu teman-teman mereka membuat utopia kesetaraan baru.

Tapi itu tidak berhasil. Orang-orang kampungan yang baru kaya tidak berbuat banyak untuk membantu teman-teman lama mereka. Mereka hanya menghabiskan semua uang mereka dan menikmati hidup sebagai orang kaya. Namun, kaum plebeian tidak segera menyadarinya.

Ketika Romawi kembali terjerumus ke dalam resesi, mereka menjadi lebih miskin dari sebelumnya. Yang miskin tetap miskin, yang kaya tetap kaya, dan segelintir orang yang dulunya miskin kemudian menjadi kayak tidak melakukan apa pun untuk membantu sesamanya.

4. Pihak yang Berutang Bisa Dikendalikan

Setelah Roma dikalahkan oleh orang-orang Galia, Republik Romawi harus menyalurkan banyak uang untuk pertahanan. Pajak naik, orang miskin bangkrut, dan orang-orang Romawi segera dibebani dengan begitu banyak hutang sehingga mereka tidak dapat melihat jalan keluar darinya.

Itu adalah sesuatu yang seharusnya terdengar akrab bagi banyak dari kita. Misalnya, rata-rata orang Amerika meninggalkan perguruan tinggi dengan utang dari pinjaman mahasiswa sebesar lebih dari 37.000 dolar AS. Itu bahkan bukan kasus yang lebih buruk. Di Australia, Swiss, Norwegia, Belanda, dan Denmark, rata-rata utang penduduknya lebih dari dua kali pendapatan tahunan mereka. Faktanya, rata-rata orang Australia berutang 250.000 dolar AS.

Banyak orang Indonesia yang kini juga terjerat pinjaman online, bahkan beberapa di antaranya sampai bunuh diri. Dalam tataran negara, utang luar negeri pemerintah Indonnesia pada akhir Agustus 2022 tercatat sebesar 397,4 miliar dolar AS, sebagian utang berasal dari Tiongkok.

Utang Indonesia bukanlah yang paling besar dalam skala internasional, tapi kita tak ingin menjadi seperti Sri Lanka yang harus rela menjual pelabuhan di wilayahnya sendiri kepada Tiongkok karena terlilit utang. Yunani pun begitu telah menjual pelabuhannya kepada Tiongkok karena persoalan ekonomi.

5. Mencetak Uang Bukan Cara yang Baik untuk Menyelamatkan Ekonomi

Ketika kekaisaran semakin besar dan pengeluarannya semakin tinggi, Kaisar Nero muncul dengan ide cemerlang untuk menggunakan lebih sedikit perak dalam koin Romawi. Dengan begitu, dia bisa mencetak lebih banyak uang. Dan jika Nero dapat mencetak lebih banyak uang, dia berpikir bahwa dia akan memiliki cukup uang untuk membuat kumpulan uang Scrooge McDuck yang dia impikan.

Idenya tidak merusak segalanya dalam semalam. Tetapi penerus Nero menirunya, dan tentu saja, inflasi menjadi liar. Selama 200 tahun berikutnya, harga gandum meningkat 200 kali lipat dan koin Romawi menjadi hampir sama sekali tidak berharga.

Jadi, untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi, mencetak uang bukanlah kebijakan yang disarankan berdasarkan pengalaman sejarah Romawi ini. Yang rakyat butuhkan adalah ketersedian kebutuhan pokok yang bisa mereka akses dengan mudah, bukan peredaran uang yang banyak. Sebab, rakyat butuh makan nasi atau gandum, bukan makan uang.