Lima Pelajaran yang Bisa Kita Ambil dari Sejarah Jatuhnya Romawi Kuno

By Utomo Priyambodo, Jumat, 11 November 2022 | 16:37 WIB
Kejatuhan Romawi memiliki efek mendalam pada sejarah Eropa. (Thomas Cole/New York Historical Society)

Nationalgeographic.co.id—Hal baik yang kita dapat dari membaca sejarah adalah kita bisa belajar dari pengalaman orang atau bangsa lain agar kita tak melakukan kesalahan atau mengalami kegagalan yang sama. Di sisi lain kita juga bisa meniru atau meneladani hal-hal baik yang terjadi dalam sejarah.

Salah satu topik sejarah yang paling menarik bagi banyak orang adalah sejarah era Romawi kuno. Romawi adalah bangsa yang bisa berkuasa lama, tapi akhirnya jatuh dan hancur juga.

Jatuhnya kekaisaran Romawi telah membuat dunia Eropa berputar ke dalam zaman kegelapan selama berabad-abad. Jika kita meluangkan waktu untuk belajar dari sejarah mereka, kita akan melihat beberapa kesamaan yang menakutkan dengan sejarah modern kita.

Kita tentu tak ingin mengalami zaman kegelapan lagi. Secara spesifik, kita juga tidak mau negara atau bangsa kita hancur seperti Romawi. Jadi apa saja pelajaran yang bisa kita ambil dari jatuhnya Romawi kuno?

1. Buruh Budak Luar Negeri Tidak Akan Memproduksi Barang-Barang Anda Selamanya

Pada puncaknya, uang mengalir deras ke Kekaisaran Romawi. Tetapi hanya karena kekaisaran ini memiliki uang tidak berarti orang-orang Romawi menjadi kaya.

Alih-alih mempekerjakan orang-orang mereka sendiri, orang-orang Romawi meminta budak asing untuk melakukan sebagian besar pekerjaan mereka. Sebagian besar produksi mereka dilakukan oleh budak asing sehingga banyak warga negara sendiri tidak terlibat. Akibatnya, seperti dikutip dari Listverse, banyak orang Romawi menganggur dam bergantung pada subsidi dan bantuan pemerintah hanya untuk bertahan hidup.

Kini perusahaan-perusahaan modern tidak bisa lagi mempekerjakan budak, tetapi mereka bisa sangat mirip karena banyak dari mereka yang lebih memilih memperkerjakan para pekerja lepas dan pekerja kontrak dengan gaji kecil, bukan pekerja tetap dengan gaji layak. Seperti Romawi, negara-negara Barat modern juga banyak mengandalkan para pekerja yang hanya dibayar 64 sen per jam atau hanya sekitar Rp22.500 per jam, atau setara Rp180.000 per hari jika bekerja 8 jam per hari.

Sekitar 60 persen barang yang dibeli orang Amerika dibuat di luar negeri, tetapi bukan hanya AS yang melakukannya. Tiongkok saat ini juga hanya membuat sekitar 50 persen pakaian dunia dan 70 persen ponselnya. Jadi sisanya dipasok dari luar.

Pelajaran sebenarnya dari Romawi adalah apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Para budak mulai menuntut lebih banyak dan memberontak. Sementara itu, orang-orang Romawi, yang dipengaruhi oleh moralitas Kristen, mulai merasa tidak enak menggunakan budak.

Sistem perburuhan mereka mulai runtuh. Karena tenaga kerja budak adalah tulang punggung seluruh ekonomi mereka, segala sesuatu yang lain ikut jatuh bersamanya.

Jadi, bisa dibayangkan bagaimana kondisi negara Indonesia, misalnya, jika semua buruhnya mogok kerja? Bos-bos perusahaan atau pejabat mana pun tentu akan kelimpungan.

Memang sering kali banyak orang yang kini berada di posisi atas menganggap diri mereka hebat dan merasa berhak mengambil semua fasilitas karena telah melakukan hal-hal besar. Mereka lupa bahwa mereka bisa melakukan hal-hal besar itu karena ada banyak orang lain yang bersedia melakukan hal-hal kecil untuk mereka.

Baca Juga: Tujuh Penemuan Romawi Kuno: Inovasi yang Berguna hingga Sekarang

Baca Juga: Apa Perbedaan antara Kehidupan Romawi Kuno dengan Yunani Kuno?

Baca Juga: Kehidupan Sehari-hari Orang-Orang Romawi sejak Pagi hingga Malam 

2. Orang Kaya yang Boros dan Suka Bermewah-mewahan

Orang-orang kaya Romawi menghabiskan begitu banyak waktu untuk mengadakan acara makan besar dan pesta pora sehingga menjadi praktik umum untuk muntah di tengah makan agar acara tetap berjalan. Setelah menyaksikan Kaisar Nero dan teman-temannya mengadakan pesta, filsuf Seneca menulis bahwa orang-orang kaya Roma “muntah agar mereka bisa makan; dan makan agar mereka muntah.”

Tapi itu bukan hanya Nero. Julius Caesar pernah lolos dari upaya pembunuhan karena dia keluar untuk memuntahkan makanannya. Kaisar Vitellius juga memiliki reputasi untuk memulai hari dengan menyemburkan sarapan di hadapan para prajuritnya.

Pelajaran sebenarnya dari Romawi adalah bahwa memiliki kekayaan terlalu banyak membuat orang menentang Anda. Alasan mengapa kisah-kisah tentang kaisar Romawi yang mesum ini diteruskan begitu lama adalah karena orang-orang mereka ingin membuat mereka terlihat buruk.

Kondisi Romawi menampilkan kesenjangan bahwa kelompok orang kaya makan begitu banyak, sementara yang lain kelaparan. Semua yang didapatkan oleh orang-orang kaya itu adalah kebencian, perang, dan banyak masalah kesehatan.

Kritik masyarakat Indonesia atas banyaknya perwira polisi dan istrinya yang menampilkan gayah hidup mewah adalah contoh nyata. Di negara mana pun, rakyat yang kesusahan tidak akan suka melihat pejabat dan keluarganya bergaya hidup mewah.

3. Orang Kaya Baru Tidak Ingat dari Mana Mereka Berasal

Ketika Romawi adalah sebuah republik, salah satu masalah internal terbesarnya adalah pertarungan antara kaum bangsawan dan kaum plebeian.

Kaum bangsawan adalah orang-orang yang mendapatkan status terhormat mereka sejak lahir. Adapun kaum plebeian adalah orang-orang biasa yang tidak memiliki cara untuk membuat kehidupan yang lebih baik pada saat itu.

Seperti masyarakat modern kita, kaum plebeian memperjuangkan hak untuk meningkatkan status sosial mereka. Mereka memenangkan persamaan hak, mendapat kesempatan untuk berperan dalam politik Romawi, dan memiliki kesempatan untuk membuat diri mereka kaya. Mereka saling membantu menjadi kaya, memilih sesama plebeian untuk berkuasa, dan kemudian duduk dan menunggu teman-teman mereka membuat utopia kesetaraan baru.

Tapi itu tidak berhasil. Orang-orang kampungan yang baru kaya tidak berbuat banyak untuk membantu teman-teman lama mereka. Mereka hanya menghabiskan semua uang mereka dan menikmati hidup sebagai orang kaya. Namun, kaum plebeian tidak segera menyadarinya.

Ketika Romawi kembali terjerumus ke dalam resesi, mereka menjadi lebih miskin dari sebelumnya. Yang miskin tetap miskin, yang kaya tetap kaya, dan segelintir orang yang dulunya miskin kemudian menjadi kayak tidak melakukan apa pun untuk membantu sesamanya.

4. Pihak yang Berutang Bisa Dikendalikan

Setelah Roma dikalahkan oleh orang-orang Galia, Republik Romawi harus menyalurkan banyak uang untuk pertahanan. Pajak naik, orang miskin bangkrut, dan orang-orang Romawi segera dibebani dengan begitu banyak hutang sehingga mereka tidak dapat melihat jalan keluar darinya.

Itu adalah sesuatu yang seharusnya terdengar akrab bagi banyak dari kita. Misalnya, rata-rata orang Amerika meninggalkan perguruan tinggi dengan utang dari pinjaman mahasiswa sebesar lebih dari 37.000 dolar AS. Itu bahkan bukan kasus yang lebih buruk. Di Australia, Swiss, Norwegia, Belanda, dan Denmark, rata-rata utang penduduknya lebih dari dua kali pendapatan tahunan mereka. Faktanya, rata-rata orang Australia berutang 250.000 dolar AS.

Banyak orang Indonesia yang kini juga terjerat pinjaman online, bahkan beberapa di antaranya sampai bunuh diri. Dalam tataran negara, utang luar negeri pemerintah Indonnesia pada akhir Agustus 2022 tercatat sebesar 397,4 miliar dolar AS, sebagian utang berasal dari Tiongkok.

Utang Indonesia bukanlah yang paling besar dalam skala internasional, tapi kita tak ingin menjadi seperti Sri Lanka yang harus rela menjual pelabuhan di wilayahnya sendiri kepada Tiongkok karena terlilit utang. Yunani pun begitu telah menjual pelabuhannya kepada Tiongkok karena persoalan ekonomi.

5. Mencetak Uang Bukan Cara yang Baik untuk Menyelamatkan Ekonomi

Ketika kekaisaran semakin besar dan pengeluarannya semakin tinggi, Kaisar Nero muncul dengan ide cemerlang untuk menggunakan lebih sedikit perak dalam koin Romawi. Dengan begitu, dia bisa mencetak lebih banyak uang. Dan jika Nero dapat mencetak lebih banyak uang, dia berpikir bahwa dia akan memiliki cukup uang untuk membuat kumpulan uang Scrooge McDuck yang dia impikan.

Idenya tidak merusak segalanya dalam semalam. Tetapi penerus Nero menirunya, dan tentu saja, inflasi menjadi liar. Selama 200 tahun berikutnya, harga gandum meningkat 200 kali lipat dan koin Romawi menjadi hampir sama sekali tidak berharga.

Jadi, untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi, mencetak uang bukanlah kebijakan yang disarankan berdasarkan pengalaman sejarah Romawi ini. Yang rakyat butuhkan adalah ketersedian kebutuhan pokok yang bisa mereka akses dengan mudah, bukan peredaran uang yang banyak. Sebab, rakyat butuh makan nasi atau gandum, bukan makan uang.