Lebih lanjut lagi, satu hal yang menjadikan festival ini sungguh menarik adalah keterlibatan warga, bukan hanya sebagai penonton tetapi juga pelaku utama. Warga membantu menghadirkan instalasi seni, membuka selebar-lebarnya rumah dan pekarangan mereka untuk dijadikan panggung-panggung pertunjukan, tempat para penonton beristirahat sejenak melepas lelah, sampai menyediakan fasilitas kamar kecil.
Berkait lingkungan, penyelenggara Ngayogjazz bersiasat atas sampah yang akan timbul usai festival ini. Sejauh mata memandang, kita mudah menemukan kantong-kantong pembuangan sampah. Kita sebagai penonton acara ini menjadi sadar untuk turut merawat dusun dan lingkungannya.
Baca Juga: Perang Dunia Pertama Memicu Berkembangnya Musik Jazz Pertama di Eropa
Baca Juga: Telusur Akar Musik WR Supratman: Anak Band yang Jadi Seorang Patriotis
Baca Juga: Dunia Hewan: Apakah Kicauan Burung Dapat Disebut Sebagai Musik?
Perhelatan tahun ini menampilkan berbagai komunitas jazz dari berbagai penjuru Nusantara: Lampung, Pekalongan, Surakarta, hingga Samarinda. Perhelatan ini menjadi ruang tumbuh bagi para komunitas, sekaligus tempat untuk mengapresiasi kerja seni. Tampaknya, hal ini menjadikan Ngayogjazz begitu memiliki tempat di hati para penikmatnya
Musisi dalam negeri dan luar negeri turut tampil. Kuaetnika yang pada hari itu meluncurkan album terbarunya, disambung Monita Tahalea dengan tembang Ilir-ilir, dan Irsa Dewi Quintet. ISI Big Band juga memberikan pertunjukan dengan komposisi menawan. Penampil dari luar negeri, Big Band Nationaal Jeugd Jazz Orkest dari Belanda. Keseruan juga tidak terhenti disitu, hadirnya Huaton Dixie menambah semaraknya pesta tahunan ini. Warga dan pemirsa bersama-sama menikmati setiap suguhan musiknya.
Ngayogjazz lebih dari sebuah festival. Perhelatan ini telah menjelma menjadi rumah yang ramah. Sebuah rumah yang selalu membuka tangannya untuk menyambut setiap orang. Bolehlah kita mengutip Joko Pinurbo bahwa "Jogja itu terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan."