Secara hukum, seorang ayah diperbolehkan untuk membunuh keluarganya
Romawi kuno merupakan masyarakat patriarki. Ada beberapa tindakan yang dianggap sangat ekstrem di masa-masa awal. Misalnya, anggota keluarga adalah milik kepala keluarga atau ayah. Sehingga ia boleh melakukan apa saja.
Seorang ayah bebas memilih cara bagaimana dia menghukum anak-anaknya. Jika dia merasa anak-anaknya pantas mati, maka dia bisa membunuh anak-anaknya tanpa akibat hukum.
Bahkan setelah meninggalkan rumah, anak-anak tidak terbebas ketakutan. Meski sudah menikah dan meninggalkan rumah, seorang anak perempuan masih bisa dibunuh oleh ayahnya. Anak laki-laki juga tidak pernah aman. Mereka baru benar-benar mandiri setelah sang ayah meninggal.
Akhirnya, aturan ini dilonggarkan. Pada abad pertama Sebelum Masehi, sebagian besar hak seseorang untuk membunuh keluarganya telah dihapuskan.
Tetapi, jika seorang anak laki-laki dihukum karena suatu kejahatan sehingga mencoreng nama keluarganya, seorang ayah masih diperbolehkan untuk membunuhnya.
Seorang ayah bisa menjual anaknya untuk dijadikan budak
Budak merupakan aset penting bagi bangsa Romawi. Seorang budak Romawi tidak memiliki hak dan sebagian besar dari mereka menjalani kehidupan yang menyedihkan.
“Warga negara Romawi bebas dari kejamnya perbudakan, kecuali jika mereka melanggar hukum,” ujar Mitchell.
Namun ada satu pengecualian yang cukup aneh di masa itu. Seorang ayah bisa menjual (atau menyewakan) putra mereka sebagai budak, tetapi itu hanya sementara.
Kepala keluarga dan calon pembeli akan mencapai kesepakatan mengenai harga dan durasi perbudakan anak. Ketika waktunya habis, pembeli diharapkan untuk membawa putranya kembali dalam kondisi yang kira-kira sama dengan saat dia menerimanya.
Meski demikian, penjualan anak ini tidak bisa dilakukan berkali-kali. Jika seseorang menjual putranya untuk ketiga kalinya, maka ia dianggap sebagai ayah yang tidak layak.