Nationalgeographic.co.id - Shizo Kanakuri bukanlah pelari yang lamban. Bahkan, ia dikabarkan mencetak rekor dunia dengan menyelesaikan lari maraton 40 km dalam waktu 2 jam, 32 menit, dan 45 detik. Rekor itu yang membuatnya memenuhi syarat untuk mewakili Jepang di Olimpiade Stockholm 1912. Namun di hari pertandingan, ia gagal mencapai garis finish. Butuh 54 tahun bagi Shizo Kanakuri untuk menyelesaikan maraton itu. Waktu yang sangat panjang bagi seorang pencetak rekor dunia, bahkan bagi mereka yang lamban. Apa sebabnya?
Usaha keras untuk membiayai perjalanan ke Olimpiade Stockholm
Shizo Kanakuri adalah satu dari hanya dua atlet Jepang yang berkompetisi di Olimpiade Stockholm. Olahraga tidak terlalu dihargai di Jepang pada saat itu. Pemerintah tidak menanggung biaya perjalanan atletik. Akibatnya, sesama mahasiswa Kanakuri mengorganisir penggalangan dana nasional. “Mereka berhasil mengumpulkan 1.500 yen, sementara kakak tertua Kanakuri menyumbangkan 300 yen,” tulis Kaushik Patowary di laman Amusing Planet.
Perjalanan ke Swedia memakan waktu 18 hari, dengan kapal dan kereta api Trans-Siberia. Di stasiun, setiap kali kereta berhenti, Kanakuri akan melompat untuk berolahraga cepat sebelum segera naik kembali.
Sesampainya ia di Swedia, Kanakuri harus mencicipi masakan lokal yang tidak sesuai dengan perutnya. Lebih buruk lagi, pelatih Kanakuri terpaksa harus terjebak di tempat tidurnya karena tuberkulosis. Karena itu, sang pelatih tidak bisa memberikan pelatihan pra-perlombaan yang cukup. Ini termasuk latihan bagi Kanakuri.
Pada hari perlombaan, para peserta berlari di tengah cuaca panas terik. Dari 68 peserta, hanya 34 yang berhasil mencapai garis finis. Seorang pelari dari Portugal dirawat di rumah sakit dan meninggal keesokan harinya. “Ini menjadi kematian pertama yang dilaporkan selama Olimpiade,” tambah Patowary.
Lalu bagaimana dengan Kanakuri dan segala keterbatasannya sejak awal? Kanakuri hanya memiliki sepatu lari tipis yang tidak memadai untuk medan berkerikil. Sekitar setengah jalan setelah pertandingan berlangsung, karena kepanasan, dia berhenti di sebuah rumah.
Kanakuri yang kelelahan meminta segelas air kepada penduduk. Keluarga itu memberinya jus rasberi, buah-buahan, dan roti gulung kayu manis. Keluarga itu bahkan memberinya sofa untuk beristirahat.
Kanakuri berbaring tetapi ia berusaha untuk tidak tertidur. Namun atlet Jepang itu tidak bisa menahan kantuk dan baru terbangun keesokan harinya.
Dengan segala kerja keras agar bisa bertanding, Kanakuri sangat kecewa dan malu atas perbuatannya.
Kecewa dan malu
Kanakuri yang patah hati menulis di jurnalnya demikian, “Ini adalah pagi hari setelah kekalahan saya. Hati saya sakit dengan penyesalan selama sisa hidup saya. Itu adalah hari terpenting dalam hidupku. Namun kegagalan mengajarkan kesuksesan. Saya hanya bisa menunggu hari dengan cuaca cerah setelah hujan agar saya bisa membersihkan rasa malu saya. Jika orang ingin tertawa, tertawalah. Saya menunjukkan kurangnya kekuatan fisik yang dimiliki orang Jepang dan keterampilan mereka yang belum matang. Saya tidak dapat memenuhi beban ini tetapi mati itu mudah dan hidup itu sulit. Untuk menghilangkan rasa malu ini, saya akan bekerja dengan segenap kekuatan saya untuk mengasah keterampilan maraton. Dan meningkatkan kebanggaan negara kita.”
Kanakuri tidak memberi tahu petugas pertandingan jika ia tidak menyelesaikan pertandingan dan diam-diam kembali ke Jepang. Ia sempat diolok-olok oleh orang Swedia karena kepulangannya itu.
Balas jasa untuk negara
Begitu kembali ke negaranya, Kanakuri memperbarui pelatihannya, bertekad untuk menjunjung tinggi nama dan kehormatan bangsanya.
Sang Atlet berbagi pengalamannya dengan anak muda lainnya dan mendorong mereka untuk mulai lari jarak jauh. Selain itu, ia mulai merekrut dan melatih atlet wanita.
Baca Juga: Louis Zamperini: Atlet Olimpiade, Selamat dari Perang dan Penyiksaan
Baca Juga: Mengapa Jimmy Carter Memerintahkan AS untuk Memboikot Olimpiade 1980?
Baca Juga: Selain untuk Kesehatan Mental, Ini Manfaat Lain Dari Lari Maraton
Kanakuri juga mengajari anak-anak tunanetra cara berlari dengan meminta mereka memegang seutas benang. Dia menciptakan perlombaan estafet jarak jauh bertingkat yang dikenal sebagai Ekiden, yang masih sangat disukai di Jepang.
Kanakuri bangkit dan terus mewakili Jepang di Olimpiade. Pria yang sempat putus asa itu berkompetisi di Olimpiade Musim Panas 1920 diadakan di Antwerpen, Belgia. Di sana, Kanakuri menyelesaikan lomba maraton dalam 2 jam, 48 menit dan 45,4 detik dan menempati posisi ke-16. Pada Olimpiade Musim Panas 1924, Kanakuri ikut belomba tetapi gagal menyelesaikannya.
Maraton terpanjang
Sekitar peringatan 50 tahun Olimpiade 1912, kisah tentang pertandingan yang tidak selesai mulai mendapat perhatian.
Semakin banyak orang menjadi sadar akan pelari Jepang yang hilang itu. Ketika mengetahui jika sang legenda masih hidup dalam kondisi sehat di negaranya, mereka terkejut.
Pada tahun 1967, pejabat Swedia mengundang Kanakuri untuk kembali ke Stockholm. Saat itu ia sudah berusia 76 tahun. Ia diundang untuk menyelesaikan pertandingan yang dimulainya 54 tahun lalu.
Mereka mengadakan upacara, yang diliput secara besar-besaran oleh media Swedia. Ketika akhirnya melewati garis finis, waktunya diumumkan sebagai 54 tahun 8 bulan 6 hari 5 jam 32 menit 20,3 detik.
Seorang penyiar stadion berteriak, “Ini menjadi penutup semua acara dari Olimpiade Stockholm 1912!”
Lega bisa menyelesaikan pertandingan, Kanakuri berkomentar penuh canda, “Itu adalah pertandingan yang panjang. Sepanjang jalan, saya menikah, memiliki enam anak dan 10 cucu.”