Nada Nusantara: Menyelamatkan Kebinekaan Musik Tradisi dari Kepunahan

By Utomo Priyambodo, Jumat, 9 Desember 2022 | 07:00 WIB
Yura Yunita memegang alat musik penting. Dengan Ridho Slank, ia berkolaborasi membuat lagu bersama para musisi tradisi di Bali. (Nada Nusantara)

Gayung bersambut, seluruh dana produksi pun siap disediakan oleh Kemendikbud. Akhirnya Linda menghubungi Ridho Slank yang dulu bersama mendiang Glenn Fredly juga kerap menceritakan kegelisahan mereka soal kelestarian musik tradisi Indonesia.

Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, mengaku sangat puas dengan hasil proyek ini. Menurutnya, dalam tiga lagu yang tercipta di proyek ini, "musik tradisi itu nggak hanya cuma jadi sekadar dekorasi." Tidak seperti banyak lagu yang memakai alat musik tradisi cuma sebagai tempelan.

Ridho Slank dengan bangga menegaskan bahwa musik tradisi menjadi komponen utama dalam penyusunan ketiga lagu tersebut, bukan sekadar tempelan. Menurutnya, sekalipun bunyi semua alat musik kontemporer, seperti gitar dan drum, dalam lagu-lagu itu dihilangkan, Ardhito tetap akan bisa menyanyikan "Nusa Ina", Yura tetap akan bisa menyanyikan "Nada-Nada Kaya", dan Ello tetap akan bisa menyanyikan "Ku Selalu di Sini" secara nyaman dengan diringi musik dari para musisi tradisi tersebut.

Ketiga lagu tersebut kini sudah bisa didengar secara gratis di beberapa platform daring, seperti Spotify dan YouTube. Adapun ketiga film dokumenternya, selain ditayangkan di CGV fX Senayan, juga akan ditayangkan di seluruh sekolah negeri dan diunggah lewat platform digital Indonesia.TV serta akun YouTube Budaya Saya milik Kemendikbud serta akun YouTube Atsanti Foundation. Konser budaya bertitel Konser Nada Nusantara Live in Candi Borobudur juga sempat digelar pada 27 September 2022 lalu.

Ridho Slank dan Ardhito Pramono berkolaborasi dengan para musisi tradisi di Ambon, Maluku. (Nada Nusantara)

Bukan Sebuah Akhir

Menurut Ria, ini bukanlah akhir. Tahun depan mereka berusaha proyek serupa untuk wilayah Sumatra, Kalimantan, dan daerah timur Indonesia, mungkin Papua atau Nusa Tenggara. Ia berharap proyek ini bisa berlangsung hingga sepuluh tahun ke depan atau lebih agar semua provinsi di Indonesia yang memiliki ribuan alat musik tradisi bisa terekam dan menjadi pelajaran bagi generasi muda.

Setiap film dokumenter ini bisa menjadi pelajaran dan panduan karena menampilkan filosofi dan sejarah dari setiap alat musik tradisi, cara memainkan, hingga cara membuatnya. Sebagai contoh dalam “Nada-Nada Penting”, tersorot alat musik penting yang "inpirasinya dari seorang kaisar di Tokyo tertarik pada bunyi mesin tik dan kemudian mengombinasikannya dengan gitar," tutur Linda Ochy. "Bunyi alat musik ini baru sempurna ketika di Bali," tambahnya.

Sayangnya, pembuat penting, alat musik yang telah ada sejak zaman Raja-Raja Bali itu, kemudian tinggal tersisa satu orang. Lewat proyek Nada Nusantara inilah, akhirnya ada 10 anak muda di Bali yang kini juga punya keahlian membuat alat musik tradisi tersebut.

Dalam film “Mena Musik Amboina", dikisahkan bagaimana alat-alat musik tradisi di Ambon berhasil mempersatukan berbagai suku di sana yang memiliki perbedaan agama, yakni Islam dan Kristen. Selain sepak bola, musik memang dikenal luas sebagai pemersatu komunitas Islam dan Kristen pascakonflik di Ambon. Selain itu, Ambon juga dinobatkan sebagai Kota Musik Dunia "City of Music" karena kekayaan budaya musik dan alat musiknya.

Adapun dalam film "Musik Bhumi Sambhara Budhara", para musisi bersama para peneliti berhasil menciptakan kembali 13 alat musik kuno yang tergambar pada relief Candi Borobudur. Alat-alat musik dari abad ke-7 yang sudah mati ini seolah dibangkitkan kembali dari kuburnya untuk bersama-sama berbunyi mengiringi sebuah lagu "Ku Selalu di Sini".

Bagi Ardhito Pramono, proyek ini juga bukanlah akhir dari kolaborasinya bersama para musisi tradisional. Setelah menjalani penjelajahan musik tradisi di Ambon, ia justru merasa punya utang.