Nada Nusantara: Menyelamatkan Kebinekaan Musik Tradisi dari Kepunahan

By Utomo Priyambodo, Jumat, 9 Desember 2022 | 07:00 WIB
Yura Yunita memegang alat musik penting. Dengan Ridho Slank, ia berkolaborasi membuat lagu bersama para musisi tradisi di Bali. (Nada Nusantara)

Nationalgeographic.co.id—Sebelum ada proyek Nada Nusantara, Anak Agung Gede Krisna Dwipayana yang biasa disapa sebagai Gung Krisna adalah satu-satunya orang tersisa yang bisa membuat alat musik penting di Karangasem, Bali. Ya, nama alat musik ini "penting" dan kini menjadi genting karena nyaris punah.

Selama berbulan-bulan di masa pandemi Gung Krisna sudah tidak memproduksi alat musik tersebut. Istrinya sedang sakit sehingga Gung Krisna harus berfokus merawatnya.

Lewat proyek Nada Nusantara yang digalakkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud RI) serta Yayasan Atma Nusvantara Jati (ATSANTI), akhirnya kini Gung Krisna kembali memproduksi alat musik petik yang memiliki sapta nada dan bentuknya menyerupai Taisho Koto alat musik asal Jepang itu. Gung Krisna juga sudah mengajarkan cara membuat penting kepada 10 anak muda sehingga setidaknya kini masih ada 11 orang yang bisa membuat alat musik tersebut, termasuk Gung Krisna yang tahun ini telah berumur 55 tahun.

Nada Nusantara adalah sebuah upaya preservasi, inspirasi, dan regenerasi musik dan alat musik tradisi di tiga daerah di Indonesia, yaitu Karangasem, Bali; Ambon, Maluku; dan Jawa Tengah. Proyek ini melibatkan 162 musisi tradisional di tiga daerah tersebut.

Program ini juga melibatkan musisi-musisi papan atas nasional, yakni Ridho Hafiedz (Ridho Slank) sebagai music director di tiga daerah tersebut, serta Ardhito Pramono, Yura Yunita, dan Marcello Tahitoe (Ello) sebagai musisi kolaborator, masing-masing di Maluku, Bali, dan Jawa Tengah.

Proyek ini dimulai sejak Mei 2022 dan berhasil menelurkan tiga film dokumenter yang masing-masing berdurasi 45 menit sampai 1 jam pada akhir November 2022. Ketiga film ini digawangi oleh sutradara independen Linda Ochy dan masing-masing berjudul “Nada-Nada Penting (The Most Important Serenade)” untuk episode Bali, “Mena Musik Amboina (The Ballad from Ambon)” untuk episode Maluku, dan “Musik Bhumi Sambhara Budhara (Music on the Mountain of Knowledge)” untuk episode Jawa Tengah.

Ketiga film dokumenter di atas merekam jejak perjalanan Ridho Slank, ArdhitoPramono, Yura Yunita, dan Ello dalam mengenal budaya, sejarah, musik,hingga belajar alat-alat musik tradisional langsung dari para maestro musik tradisi di Maluku, Bali, dan Jawa Tengah. Lalu terciptalah lagu "Nusa Ina" di Maluku, "Nada-Nada Kaya" di Bali, dan "Ku Selalu di Sini" di Jawa Tengah, hasil kolaborasi para musisi pop nasional itu dengan para musisi tradisi di tiga daerah tersebut.

Ridho Slank dan Eloo berkolaborasi dengan para musisi tradisi di Jawa Tengah. (Nada Nusantara)

Berawal dari Kegelisahan

Ria Pinasthia dari ATSANTI mengatakan bahwa program ini bermula dari keresahan ATSANTI dan Kemendikbud saat mengadakan lomba alat musik tradisi pada 2020. "Ketika kami membuka (pendaftaran) batas (peserta)-nya untuk usia 35 tahun ke bawah, kami melihat di situ mulai ada keresahan bahwa sang maestro hanya ada di umur 40 tahun ke atas, bahkan 50 tahun ke atas," ujar Ria dalam acara konferensi pers dan peluncuran tiga film dokumenter Nada Nusantara di CGV fX Senayan, Rabu, 7 Desember 2022.

Anak-anak muda di banyak daerah hanya bisa memainkan satu-dua alat musik tradisi, tapi tidak memahani cara memainkan semua alat musik yang perlu dilakukan dalam sebuah kelompok kesatuan dan tidak bisa membuat alat-alat musik tersebut.

Kegelisahan ATSANTI seolah didengar semesta. Semesta memmpertemukan ATSANTI, yang ingin membuat film dokumenter bertajuk "Nusantara dalam Nada" untuk melestarikan alat-alat musik tradisi, dengan Linda Ochy, sutradara yang juga hendak membuat film bertema serupa dengan judul "Nada Nusantara". Akhirnya judul dari Linda yang dipakai dalam proposal mereka yang kemudian mereka tawarkan kepada Kemendikbud.

Gayung bersambut, seluruh dana produksi pun siap disediakan oleh Kemendikbud. Akhirnya Linda menghubungi Ridho Slank yang dulu bersama mendiang Glenn Fredly juga kerap menceritakan kegelisahan mereka soal kelestarian musik tradisi Indonesia.

Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, mengaku sangat puas dengan hasil proyek ini. Menurutnya, dalam tiga lagu yang tercipta di proyek ini, "musik tradisi itu nggak hanya cuma jadi sekadar dekorasi." Tidak seperti banyak lagu yang memakai alat musik tradisi cuma sebagai tempelan.

Ridho Slank dengan bangga menegaskan bahwa musik tradisi menjadi komponen utama dalam penyusunan ketiga lagu tersebut, bukan sekadar tempelan. Menurutnya, sekalipun bunyi semua alat musik kontemporer, seperti gitar dan drum, dalam lagu-lagu itu dihilangkan, Ardhito tetap akan bisa menyanyikan "Nusa Ina", Yura tetap akan bisa menyanyikan "Nada-Nada Kaya", dan Ello tetap akan bisa menyanyikan "Ku Selalu di Sini" secara nyaman dengan diringi musik dari para musisi tradisi tersebut.

Ketiga lagu tersebut kini sudah bisa didengar secara gratis di beberapa platform daring, seperti Spotify dan YouTube. Adapun ketiga film dokumenternya, selain ditayangkan di CGV fX Senayan, juga akan ditayangkan di seluruh sekolah negeri dan diunggah lewat platform digital Indonesia.TV serta akun YouTube Budaya Saya milik Kemendikbud serta akun YouTube Atsanti Foundation. Konser budaya bertitel Konser Nada Nusantara Live in Candi Borobudur juga sempat digelar pada 27 September 2022 lalu.

Ridho Slank dan Ardhito Pramono berkolaborasi dengan para musisi tradisi di Ambon, Maluku. (Nada Nusantara)

Bukan Sebuah Akhir

Menurut Ria, ini bukanlah akhir. Tahun depan mereka berusaha proyek serupa untuk wilayah Sumatra, Kalimantan, dan daerah timur Indonesia, mungkin Papua atau Nusa Tenggara. Ia berharap proyek ini bisa berlangsung hingga sepuluh tahun ke depan atau lebih agar semua provinsi di Indonesia yang memiliki ribuan alat musik tradisi bisa terekam dan menjadi pelajaran bagi generasi muda.

Setiap film dokumenter ini bisa menjadi pelajaran dan panduan karena menampilkan filosofi dan sejarah dari setiap alat musik tradisi, cara memainkan, hingga cara membuatnya. Sebagai contoh dalam “Nada-Nada Penting”, tersorot alat musik penting yang "inpirasinya dari seorang kaisar di Tokyo tertarik pada bunyi mesin tik dan kemudian mengombinasikannya dengan gitar," tutur Linda Ochy. "Bunyi alat musik ini baru sempurna ketika di Bali," tambahnya.

Sayangnya, pembuat penting, alat musik yang telah ada sejak zaman Raja-Raja Bali itu, kemudian tinggal tersisa satu orang. Lewat proyek Nada Nusantara inilah, akhirnya ada 10 anak muda di Bali yang kini juga punya keahlian membuat alat musik tradisi tersebut.

Dalam film “Mena Musik Amboina", dikisahkan bagaimana alat-alat musik tradisi di Ambon berhasil mempersatukan berbagai suku di sana yang memiliki perbedaan agama, yakni Islam dan Kristen. Selain sepak bola, musik memang dikenal luas sebagai pemersatu komunitas Islam dan Kristen pascakonflik di Ambon. Selain itu, Ambon juga dinobatkan sebagai Kota Musik Dunia "City of Music" karena kekayaan budaya musik dan alat musiknya.

Adapun dalam film "Musik Bhumi Sambhara Budhara", para musisi bersama para peneliti berhasil menciptakan kembali 13 alat musik kuno yang tergambar pada relief Candi Borobudur. Alat-alat musik dari abad ke-7 yang sudah mati ini seolah dibangkitkan kembali dari kuburnya untuk bersama-sama berbunyi mengiringi sebuah lagu "Ku Selalu di Sini".

Bagi Ardhito Pramono, proyek ini juga bukanlah akhir dari kolaborasinya bersama para musisi tradisional. Setelah menjalani penjelajahan musik tradisi di Ambon, ia justru merasa punya utang.

  

Baca Juga: Berawal dari Barang Bekas Hingga Terciptanya Musik Marching Band

Baca Juga: Menggunakan Musik Untuk Mendeteksi Kemerosotan Mental Lansia

Baca Juga: Jaap Kunst, Pria Belanda yang Jatuh Cinta pada Musik Tradisi Nusantara 

   

"Masih banyak yang bisa kita aplikasikan. Mungkin musisi-musisi di Ambon bisa kita kasih edukasi bagaimana caranya memanfaatkan DAW (Digital Audio Workstation) dan software untuk bikin karya," ucapnya.

"Kita bisa bikin workshop soal how to market your own art. Untuk bisa masukin ke platform-platform digital agar emang mudah diakses, agar orang-orang juga jadi lebih tahu (karya-karya musik tradisi mereka)," tambah Ardhito

Senada dengan Ardhito, Ridho Slank pun merasa punya utang setelah proyek kolaborasi ini. "Ada utang kewajiban bahwa ini warisan orang tua kita, nenek moyang kita, yang harus kita sampaikan. Mungkin nggak semua orang harus punya rasa yang sama (pada alat musik tradisi tertentu), tapi setidaknya minimal ada orang dari setiap generasi yang melestarikannya."

Ridho juga menegaskan bahwa kekayaan Indonesia terletak pada alam dan budayanya. Kekayaan musik tradisi telah menjadi pemersatu masyarakat sekaligus penarik minat wisata orang-orang dari daerah lain. "Kalau itu hilang, kita sudah nggak punya apa-apa lagi," tegasnya.