Momen Haru saat 'Anak-Anak dari Surga' Tampil di Panggung Budaya

By Utomo Priyambodo, Jumat, 9 Desember 2022 | 08:00 WIB
Diah Kusumawardani Wijayant (tengah) bersama anak-anak dengan sindrom down yang mampu memainkan angklung. (Utomo Priyambodo/National Geographic Indonesia)

Anak dengan sindrom down memang kerap disebut sebagai "anak surga". Banyak orang meyakini bahwa anak-anak itu adalah para ahli surga yang tidak akan dihisab di akhirat. Banyak orang juga percaya orang tua dari anak sindrown down memiliki tiket khusus ke surga apabila senantiasa sabar dan ikhlas merawat dan mendidik anak mereka dengan baik.

Kisah mirip Aurel di film Anak dari Surga juga pernah ditemui langsung oleh Diah di Belantara Budaya Indonesia. Diah menceritakan bahwa awalnya sekolah tari tradisional yang ia buat di berbagai museum di Jakarta dan Bogor ini terbuka untuk masyarakat umum, tidak ada yang khusus untuk difabel. Namun, ada seorang anak sindrom down di Bogor yang kemudian ikut bergabung.

"Tadinya (dia) malu, di pinggiran, akhirnya minggu kedua dan ketiga maju ke depan. Akhirnya mau nari, tadinya marah-marah, mau nari. Akhirnya ke depan, kok bisa akhirnya. Akhirnya sampai dia bisa, dia nggak mau mundur-mundur lagi, tetap maunya di depan," tutur Diah.

"Dan lebih kerennya, ketika dia percaya diri, dia mengajarkan teman-temanya di SLB untuk menari. Ini kan luar biasa. Nah dari dialah saya membuat sekolah (khusus untuk) difabel gratis di Kota Bogor," tambah Diah.

"Ketika di sana (Bogor) sukses, ternyata banyak peminatnya, dibuatlah sekolah kedua di Depok di MargoCity Mall."

Diah berharap sekolah ini juga bisa menjadi tempat bergaul para orang tua yang memiliki anak disabilitas untuk saling berbagi dan menguatkan. Orang tua yang percaya diri akan membentuk anak yang percaya diri pula.

Lebih jauh lagi, dengan adanya kolaborasi seni antara anak-anak dengan disabilitas dengan anak-anak norma seperti dalam penampilan angklung tadi, diharapkan bakal tercipta suatu pergaulan yang inklusif yang ditanam sejak ini. Supaya nantinya tidak ada lagi stigma-stigma negatif terhadap para penyandang disabilitas dan keluarganya dalam masyarakat.

Para orang tua dari anak-anak disabilitas yang tampil di panggung MargoCity Depok itu umumnya duduk bersama-sama di deratan kursi yang disediakan di depan panggung atau di belakang panggung untuk mendukung dan menyemangati anak-anak mereka. Berbeda dengan pasangan suami istri muda yang berdiri agak jauh dan terpisah. Sepertinya mereka adalah pengunjung mal yang kebetulan melihat pertunjukan budaya tersebut.

Di akhir acara, lagu Maumere dinyalakan oleh panitia. Semua anak disabilitas yang hadir berkumpul ke depan untuk melakukan gerakan Tari Maumere. Banyak pengunjung yang menonton juga ikut menari. Ini adalah lagu dan gerakan andalan dalam senam ibu-ibu sehingga banyak orang mudah mengikutinya.

Banyak penonton ikut menari sampai akhir acara, tapi suami istri muda yang berdiri di kejauhan itu sudah tak terlihat lagi. Mungkin mereka sudah pulang dari mal.