Momen Haru saat 'Anak-Anak dari Surga' Tampil di Panggung Budaya

By Utomo Priyambodo, Jumat, 9 Desember 2022 | 08:00 WIB
Diah Kusumawardani Wijayant (tengah) bersama anak-anak dengan sindrom down yang mampu memainkan angklung. (Utomo Priyambodo/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Sepasang suami istri muda bergenggaman tangan. Sekitar sepuluh langkah dari sudut depan panggung, mereka berdiri agak terpisah dari para penonton dan tamu yang lain.

Sang istri sedang hamil tua. Perutnya kelihatan sudah sangat besar. Kandungan wanita muda itu mungkin sudah masuk usia kehamilan lebih dari delapan bulan.

Mata wanita itu terlihat berkaca-kaca. Bola matanya basah. Seolah menyadari hal itu, tangan kiri sang suami mengenggam lebih erat tangan kanan istrinya.

Di atas panggung, belasan anak sedang tampil. Masing-masing dari mereka membawa angklung, alat musik tradisional dari Jawa Barat.

Lima anak di barisan terdepan tampak merupakan penyandang sindrom down (down syndrome). Wajah mereka terlihat mirip semua, baik laki-laki maupun perempuan.

Wajah anak-anak yang berada di barisan belakang tampak normal. Tapi mungkin saja mereka juga merupakan penyandang jenis tunagrahita lainnya.

Mereka sedang memainkan angklung sambil menyanyikan lagu Kasih Ibu yang juga diiringi sebuah piano. "Kasih ibu kepada beta / Tak terhingga sepanjang masa // Hanya memberi tak harap kembali / Bagai sang surya menyinari dunia//"

Mengapa mata ibu hamil itu mendadak basah di sebelah suaminya tidaklah jelas. Mungkin ia sekedar terharu melihat penampilan anak-anak sindrom down tersebut.

Atau bisa jadi, salah satu dari anak-anak sindrom down yang tampil di panggung itu adalah anak mereka. Atau mungkin, janin yang sedang dikandung wanita muda itu telah diidentifikasi bakal terlahir sebagai bayi dengan sindrom down.

Deteksi dini sindrom down dalam kandungan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni skrining dan diagnostik. Skrining dilakukakan dengan USG, menilai jumlah cairan di belakang leher bayi pada usia 11-13 minggu atau panjang janin 4,5 – 8,4 sentimeter. Nilai normal ialah kurang dari 3,5 mililiter. Jika jumlah cairan di belakang leher bayi mencapai di atas 3,5 mililiter, bisa dicurigai janin mengalami sindrom down.

Adapun pemeriksaan diagnostik dilakukan lewat pemeriksaan amniosintesis, yakni pemerikasaan kelaianan kromosom janin dengan pengambilan sampel cairan ketuban. Pemeriksaan yang dilakukan saat usia kehamilan sekitar 15-20 minggu ini memiliki tingkat keakuratan 100 persen untuk mendeteksi sindrom down.

Pemeriksaan diagnostik lainnya bisa dengan Chorionic Villus Sampling (CVS). Cara ini dilakukan dengan mengambil sedikit jaringan plasenta untuk menilai keadaan kromosomnya. Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada usia kehamilan sekitar 9-14 minggu ini memiliki tingkat akurasi yang juga 100 persen.

Janin yang mengalami sindrom down tidak bisa dikoreksi. Jadi, setelah lahir nanti kondisinya berupa bayi sindrom down.

Menurut kode etik di Indonesia, janin tidak boleh digugurkan. Hal ini berbeda dengan negara-negara barat, di mana bila terdeteksi janin sindrom down boleh langsung digugurkan. Inilah sebabnya di negara-negara barat, kasus bayi lahir sindrom down sangat rendah.

Menurut tulisan di laman resmi RS Gading Pluit, "manfaat deteksi dini janin sindrom down lebih pada menyiapkan mental orang tua menghadapi kelahiran bayinya. Jika mengetahui lebih dini, diharapkan orang tua sejak awal siap menerima kelahiran bayi dan menyiapkan penanganan yang tepat. Dengan penanganan yang tepat, anak-anak dengan sindrom down masih bisa tumbuh normal secara kognitif dan sosial walaupun proses ini membutuhkan waktu lebih lama daripada anak biasanya."

Pasangan suami istri muda itu tampak khusyuk menyaksikan penampilan anak-anak bermain angklung di MargoCity Depok. Sebelumnya, juga ada beberapa penampilan dari anak-anak disabilitas lainnya, termasuk Tari Ondel-Ondel dan Tari Wak Wak Gung, di panggung tersebut.

Acara pertunjukan budaya tersebut merupakan bagian dari acara Peluncuran Sekolah Tari Tradisional Khusus Difabel yang ke-2 dari Yayasan Belantara Budaya Indonesia, yaitu Sekolah Tari Tradisional Khusus Difabel MargoCity Depok. Acara yang digelar pada Sabtu, 3 Desember 2022, itu sekaligus memperingati Hari Disabilitas Internasional yang dirayakan sedunia tiap 3 Desember.

Diah Kusumawardani Wijayanti, Pendiri sekaligus Ketua Belantara Budaya Indonesia, mengatakan bahwa Sekolah Tari Tradisional Khusus Difabel MargoCity Depok akan diselenggarkan secara rutin setiap hari Sabtu sejak pukul 10.00 pagi hingga 12.00 siang di mal terbesar Kota Belimbing itu. Sekolah tari ini gratis, tanpa memungut biaya apa pun, dan tanpa batasan usia.

"Jadi, Bapak/Ibu yang punya anak istimewa, silakan bergabung menjadi keluarga besar Belantara Budaya Indonesia untuk terus melestarikan budaya dan tradisi Indonesia," ajak Diah dalam pembukaan acara tersebut. Para orang tua bisa mendaftarkan anak-anak mereka yang difabel lewat akun Instagram Belantara Budaya Indonesia atau datang langsung ke lokasi.

Baca Juga: Kisah Haru Persahabatan Dua Difabel Muslim dan Kristen dari Damaskus

Baca Juga: Menciptakan Masyarakat Inklusif Bagi Kaum Difabel Lewat Film 'Tegar'

Baca Juga: Film 'Tegar' Menyerukan Kehidupan Masyarakat Indonesia yang Inklusif 

Sekelompok anak penyandang disabilitas sedang menampilkan Tari Ondel-Ondel di MargoCity Depok. (Utomo Priyambodo/National Geographic Indonesia)

Selain di Depok, Sekolah Tari Tradisional Khusus Difabel dari Belantara Budaya Indonesia juga ada di Bogor. Persisnya diselenggarakan di Museum Tanah dan Pertanian Bogor tiap hari Jumat pukul 15.00 sampai 17.00 (jam 3 sampai 5 sore).

Diah juga berharap para penonton dan pengunjung bisa juga memberitahukan tetangganya, saudaranya, atau kenalannya yang mungkin punya "anak istimewa" untuk bergabung menjadi keluarga besar Belantara Budaya Indonesia.

Asisten Deputi Pemberdayaan Disabilitas dan Lanjut Usia Kemenko PMK Ricky Radius Siregar mengapresiasi acara ini. Dia mengatakan acara ini sesuai dengan tema perayaan Hari Disabilitas Internasional di Indonesia tahun 2022, yakni "Partisipasi Bermakna untuk Indonesia Inklusif". Inkulisivitas yang dimaksud adalah dari sisi pembangunan berkelanjutan dan sisi hak asasi manusia yang harus melibatkan semua orang.

"Yang dilakukan oleh Bu Diah dan Margo City ini luar biasa. Bukan hanya memberikan tempat, tapi memberikan awareness kepada masyarakat bahwa kita harus hidup berdampingan dengan para penyandang disabilitas," ucap Ricky.

Kelompok anak inklusif, termasuk beberapa penyandang sindrom down, sedang tampi memainkan angklung di panggung. (Utomo Priyambodo/National Geographic Indonesia)

Diah mendirikan Yayasan Belantara Budaya Indonesia karena keresahan pribadinya melihat anaknya lebih tertarik pada tari balet yang berasal dari Italia ketimbang tari-tari tradisional Indonesia. Padahal, dulu ayah Diah telah menanamkan pada diri Diah kecintaan terhadap seni dan budaya Indonesia, termasuk mengajarkan berbagai tari tradisional.

Bersama rekan-rekannya yang juga punya kepedulian untuk melestarikan tari dan musik tradisional, Diah kemudian merintis Belantara Budaya Indonesia sejak 2013. Kini, yayasan itu telah memiliki murid lebih dari 5.500 orang. Sekitar 200 orang di antaranya merupakan para penyandang disabilitas, termasuk tunanetra, tuli, tunadaksa, serta tunagrahita seperti sindrom down.

Belantara Budaya Indonesia telah memiliki sekolah-sekolah tari dan musik tradisi gratis di berbagai kota di tiga provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Mereka mengajarkan tari-tari tradisional serta alat-alat musik tradisional seperti angklung dan gamelan.

Indonesia punya banyak sekali alat musik tradisional dari Sabang sampai Merauke, terutama jenis alat musik perkusi. Bicara soal perkusi dan disabilitas, ada film dokumenter berjudul Anak dari Surga yang berkisah tentang keseharian remaja dengan sindrom down bernama Aurel, yang aktif dan senang bermain jimbe (perkusi).

Film garapan sutradara Ace Raden Desenasuria tahun 2017 itu merupakan hasil observasi kehidupan Aurel dengan berbagai tantangan yang dijumpai. Film ini juga menyoroti dukungan orang tua Aurel dalam mengatasi tantangan anaknya dan aktif memberikan solusi.

Dokumenter ini menegaskan pentingnya dukungan orang tua bagi anak mereka dengan sindrom down. Sebuah dukungan dengan cara menerima apa pun kondisi anak mereka, dan memberikan kesempatan anak mereka sebagaimana anak lainnya.

Dalam film yang berdurasi 30 menit itu, dukungan penuh dari orangtua dan keluarga menempatkan Aurel sebagai remaja dengan seluruh hak hidupnya, terlindung dari diskriminasi, bahkan Aurel mampu menjadi remaja yang dapat membantu teman-temannya.

Aurel tetap dapat bermain musik, melukis, bersosialisasi, dan berkawan dengan orang-orang di sekitarnya. Bahkan remaja dengan sindroma down itu dapat membantu teman-temanya memberikan pelayanan gereja di berbagai gereja, bahkan di gereja yang ada dalam penjara.

Anak dengan sindrom down memang kerap disebut sebagai "anak surga". Banyak orang meyakini bahwa anak-anak itu adalah para ahli surga yang tidak akan dihisab di akhirat. Banyak orang juga percaya orang tua dari anak sindrown down memiliki tiket khusus ke surga apabila senantiasa sabar dan ikhlas merawat dan mendidik anak mereka dengan baik.

Kisah mirip Aurel di film Anak dari Surga juga pernah ditemui langsung oleh Diah di Belantara Budaya Indonesia. Diah menceritakan bahwa awalnya sekolah tari tradisional yang ia buat di berbagai museum di Jakarta dan Bogor ini terbuka untuk masyarakat umum, tidak ada yang khusus untuk difabel. Namun, ada seorang anak sindrom down di Bogor yang kemudian ikut bergabung.

"Tadinya (dia) malu, di pinggiran, akhirnya minggu kedua dan ketiga maju ke depan. Akhirnya mau nari, tadinya marah-marah, mau nari. Akhirnya ke depan, kok bisa akhirnya. Akhirnya sampai dia bisa, dia nggak mau mundur-mundur lagi, tetap maunya di depan," tutur Diah.

"Dan lebih kerennya, ketika dia percaya diri, dia mengajarkan teman-temanya di SLB untuk menari. Ini kan luar biasa. Nah dari dialah saya membuat sekolah (khusus untuk) difabel gratis di Kota Bogor," tambah Diah.

"Ketika di sana (Bogor) sukses, ternyata banyak peminatnya, dibuatlah sekolah kedua di Depok di MargoCity Mall."

Diah berharap sekolah ini juga bisa menjadi tempat bergaul para orang tua yang memiliki anak disabilitas untuk saling berbagi dan menguatkan. Orang tua yang percaya diri akan membentuk anak yang percaya diri pula.

Lebih jauh lagi, dengan adanya kolaborasi seni antara anak-anak dengan disabilitas dengan anak-anak norma seperti dalam penampilan angklung tadi, diharapkan bakal tercipta suatu pergaulan yang inklusif yang ditanam sejak ini. Supaya nantinya tidak ada lagi stigma-stigma negatif terhadap para penyandang disabilitas dan keluarganya dalam masyarakat.

Para orang tua dari anak-anak disabilitas yang tampil di panggung MargoCity Depok itu umumnya duduk bersama-sama di deratan kursi yang disediakan di depan panggung atau di belakang panggung untuk mendukung dan menyemangati anak-anak mereka. Berbeda dengan pasangan suami istri muda yang berdiri agak jauh dan terpisah. Sepertinya mereka adalah pengunjung mal yang kebetulan melihat pertunjukan budaya tersebut.

Di akhir acara, lagu Maumere dinyalakan oleh panitia. Semua anak disabilitas yang hadir berkumpul ke depan untuk melakukan gerakan Tari Maumere. Banyak pengunjung yang menonton juga ikut menari. Ini adalah lagu dan gerakan andalan dalam senam ibu-ibu sehingga banyak orang mudah mengikutinya.

Banyak penonton ikut menari sampai akhir acara, tapi suami istri muda yang berdiri di kejauhan itu sudah tak terlihat lagi. Mungkin mereka sudah pulang dari mal.