Salah Kaprah Sejagat, Reog dan Batik Tidak Diklaim Negara Tetangga

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 10 Desember 2022 | 10:00 WIB
Sampai hari ini aktivitas membatik masih berdenyut di Ndalem Hardjonegaran, rumah batik Go Tik Swan Hardjonagoro di Surakarta. Batik adalah warisan budaya di Nusantara. Tidak pernah ada negara yang mengklaimnya sebagai kebudayaannya, melainkan yang ada hanyalah mengukuhkannya sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO untuk dilestarikan. (Alfonsus Aditya/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—April silam, tersiar kabar mengatakan kesenian tradisional reog akan diklaim Malaysia dengan nama "barongan". Kabar itu tersiar di Suara.com ketika Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendi mengatakan agar Indonesia harus lebih dulu mengusulkan reog ponorogo sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) ke UNESCO. 

Hal itu perlu dilakukan sebelum diklaim Malaysia. Kabar itu mendapatkan reaksi keras dari masyarakat Indonesia.

Ini bukan yang pertama kali. Sebelum-sebelumnya juga ada banyak kesenian tradisional yang umum ditemukan di Indonesia dikabarkan pernah diklaim Malaysia. Mengutip Tempo.co, beberapa di antaranya adalah reog ponorogo pada tahun 2007, lagu Rasa Sayange, batik, rendang, keris, songket, dan angklung.

November lalu, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei akan mendaftarkan kebaya sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) ke UNESCO. Namun, mengapa Indonesia tidak bertindak? Dan, betulkah kebaya akan menjadi kebudayaan mereka?

Tampaknya ada kekeliruan atas kabar klaim budaya. Faktanya, tidak ada warisan budaya tak benda yang betul-betul diklaim.

"Budaya bukan hanya kumpulan individu, tetapi semacam subjek kolektif, yang disebut 'roh' manusia," terang Miranda Risang Ayu Palar, mengutip filsuf Jerman abad ke-18 Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Ia menjadi salah satu narasumber "Bincang Santai WBTb Indonesia Menuju ICH" yang digelar Direktorat Perlindungan Budaya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Miranda merupakan pakar hukum kekayaan intelektual dan kekayaan budaya di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Dia menjelaskan, Indonesia punya banyak keragaman budaya, dan semuanya butuh dilestarikan.

"Ternyata kekayaan intelektual itu banyak dikembangkan, dalam konteks Indonesia itu, banyak yang dipegang oleh komunitas dan dikembangkan secara turun-temurun," tuturnya dalam bincang yang diselenggarakan Kamis, 8 Oktober 2022. "Semakin kuno [suatu budaya], punya nilai. Maka ahli HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) harus ada cara untuk melindungi ini."

Sering kali yang jadi perdebatan adalah siapa komunitas yang berhak atas kepemilikan budaya? Lingkupnya bisa kalangan tertentu hingga seluruh masyarakat di dunia.

Contoh, budaya populer yang membuat kita menggunakan celana jins dan kemeja, dan aliran musiknya, bisa dianggap sebagai milik siapa pun di dunia. Sebab, semua orang melestarikan, mempopulerkan, dan menggunakan, sekaligus menikmatinya.

Memasuki petilasan Mbah Depok Kendran anak putu Bonokeling diwajibkan menggunakan pakaian adat. Kaum wanita berbusana kebaya batik dan selendang putih. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Hal itu berbeda dengan kepemilikan individu dan kelembagaan, seperti puisi milik seseorang. Cara ini bisa diklaim oleh yang memilikinya secara hukum, dan dilindungi.

Asia Tenggara kesamaan budaya. Kesamaan itu bukan hanya karena negara-negaranya serumpun secara bahasa dan budaya, tetapi juga persebaran masyarakatnya. Perpindahan masyarakat sering terjadi, bahkan hari ini.

Ada kelompok etnis di Indonesia yang kini tinggal di Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, dan Brunei. Kelompok yang berpindah itu telah bergenerasi tinggal di negara lain, sambil membawa budayanya.

Tentunya, mereka berhak menjaga identitas kebudayaan yang telah diwariskan tersebut, tetapi tetap menyebut diri mereka sebagai warga negara di negara lain. Misalnya orang Bugis Malaysia atau Jawa Filipina. Pewarisan budaya pun tidak hanya berpatok pada darah kandungnya, bisa dilakukan oleh siapa pun yang merasa itu adalah bagian budayanya.

Baca Juga: Kisah Kepahlawanan Sie Jin Kwie dalam Pementasan Wayang Potehi

Baca Juga: Wayang Kulit Merayakan Gamelan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO

Baca Juga: Mengapa Kita Menghancurkan Warisan Budaya Berusia Ribuan Tahun?

Baca Juga: Momen Haru saat 'Anak-Anak dari Surga' Tampil di Panggung Budaya

"Selama beberapa periode, sistem transmisi dan produk warisan dapat dimodifikasi melalui proses yang disebut 'rekreasi kolektif'," kata Bondan Kanumoyoso, sejarawan dan dekan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dalam forum yang sama. "Ini berarti warisan akan diciptakan kembali oleh komunitas budaya seiring perubahan komunitas dari waktu ke waktu sebagai respons terhadap lingkungannya."

Fenomena ini tidak hanya terjadi pada serumpun. Tengoklah pada negara-negara Barat seperti Amerika Serikat yang sebagian penduduk non-keturunan Asia Tenggara, menyukai gamelan dan dangdut. Begitu juga di sini, kita menyukai kebudayaan Barat seperti mendengarkan musik Inggris (British Pop), atau mementaskan cerita mereka seperti "Hamlet" dan "Les Miserables" lewat teater.

Pemain Teater Opera Suzhou Kunqu mempersiapkan diri untuk geladi bersih. (Michael Yamashita)

Kebudayaan bersifat tidak tetap, mengalami adaptasi atau diadaptasi di tempat lain. Keadaan ini menambah keragaman budaya di negara lain pula. Masyarakat di sana, termasuk yang berasal dari negara lain, pun berhak mengajukan kebudayaan atau tradisi kepada UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda.

"Kalau tidak mau kebudayaan kita 'dicuri' negara lain, ya jangan perkenalkan budaya kita ke luar. Diam saja. Jangan memperkenalkan kebudayaan," kata Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO Profesor Ismunandar di forum yang sama.

Ismunandar mengatakan, budaya punya banyak tantangan, mulai dari pewarisan, kurang promosi, urbanisasi, atau tergerus oleh budaya lain. Dengan mengajukan warisan budaya kepada UNESCO untuk ditetapkan sebagai WBTb, komunitas atau negara yang mengajukan punya komitmen pelestarian.

Bondan menerangkan, dengan dipakemkan warisan budaya dunia, warisan itu bisa dipertahankan oleh masyarakatnya, misalnya dengan perayaan. Contoh, UNESCO mengukuhkan batik yang diajukan oleh Indonesia. Dampaknya, batik punya harinya sendiri dan dipakai oleh masyarakat tanpa sebagai pakaian dengan konteks resmi.

Irini Dewi Wanti, Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek menjelaskan, bahwa mendaftarkan WBTb untuk menjadi warisan budaya dunia di UNESCO punya beberapa langkah.

Pada awalnya, komunitas di daerah menentukan kebudayaan lokal yang hendak dijadikan WBTb. Kemudian kebudayaan lokal tersebut didaftarkan ke instansi pemerintah, hingga akhirnya diajukan ke UNESCO.

Tanggung jawab pelestarian harus berlangsung setelah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Para pewaris atau komunitas setempat, terutama yang mengusulkan, harus mempertahankan dan mengenalkan budayanya.

"Semata-mata WBTb ini bukan berhenti di penetapan [warisan budaya dunia oleh UNESCO], tapi justru yang kita dorong justru pascapenetapan," tutur Irini. "Makanya, komunitasnya harus dilihat. Karena siapa yang melakukan? Ya, komunitas, pewarisnya bukan pemerintah saja. Pemerintah itu hanya fasilitator."

Wayang potehi yang menampilkan Sie Jin Kwie (kiri) menghadap kaisar. Wayang potehi merupakan bentuk kebudayaan akulturasi etnis Tionghoa dan Jawa yang sempat dilupakan. (Donny Fernando)

Cara lain untuk menghadapi tantangan adalah mengajukan warisan budaya takbenda bersama-sama dengan negara lain. Dari tahun 2008 hingga 2021, ada 12 warisan budaya dunia yang dikukuhkan UNESCO dari Indonesia, tetapi hanya satu di antaranya yang merupakan "joint" atau bekerja sama dengan negara lain untuk dikukuhkan.

Idenya, semakin banyak bekerja sama dengan negara lain yang punya kesamaan kebudayaan, akan mudah menjadi warisan dunia.

Di UNESCO sendiri, pengukuhan warisan budaya dunia tidaklah mudah. Tidak semuanya bisa dikukuhkan karena perhitungan urgensi dan kuota. Jika semakin banyak negara yang mengajukan satu warisan budaya, kuotanya bisa dimanfaatkan untuk mengajukan warisan budaya lain, dan warisan budaya bersama bisa dikukuhkan UNESCO.

Reog ponorogo memeriahkan acara ulang tahun National Geographic Indonesia yang ke-10 di Bentara Budaya Jakarta. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Sayangnya, Indonesia masih sedikit berusaha untuk melakukan kerja sama lintas negara untuk warisan budaya takbenda. Baru-baru ini kebaya yang diajukan oleh Thailand, Singapura, Malaysia, dan Brunei, mengajak Indonesia untuk terlibat, tetapi masih enggan.

Ismunandar berkaca pada India yang baru-baru ini mengundang Indonesia dan negara-negara lain untuk mengkaji warisan budaya takbenda yang mirip, untuk diajukan sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO.

Baca Juga: Riwayat Reog dalam Kancah Politik Majapahit hingga Indonesia

Baca Juga: Kelakar Bung Karno dan Ziarah Go Tik Swan Demi ‘Batik Indonesia’

"Mungkin kalau di medsos, gitu, cepat sekali comment-comment yang singkat-singkat dan kadang-kadang itu belum tentu benar, itu kayak sudah terkonfirmasi (mengenai kabar budaya diklaim negara lain)," ucap Irini.

"Kan kita ingin mewarisi budaya kita, bukan kita ribut satu sama lain. Kalau ingin ini tersosialisasikan dengan benar, mungkin enggak akan ada lagi kesalahpahaman, apa lagi soal klaim-mengeklaim," tutupnya.