Menelisik Perilaku Konsumsi Impulsif dan Dampaknya terhadap Lingkungan

By Utomo Priyambodo, Kamis, 15 Desember 2022 | 14:00 WIB
Ilustrasi berbelanja di toko ritel. (iStock)

Dalam analisis studi ini, para peneliti memeriksa dampak lingkungan dari konsumen di 43 negara dan 5 wilayah lainnya di dunia. Dengan mengukur 'dampak sekunder', yakni dampak lingkungan dari produksi barang dan produk yang kita beli setiap hari, para peneliti mengatakan para konsumen bertanggung jawab atas lebih dari 60 persen emisi gas rumah kaca dunia, dan hingga 80 persen penggunaan air global.

"Kita semua suka menyalahkan orang lain, pemerintah, atau bisnis," kata Ivanova. "Namun antara 60–80 persen dampak di planet ini berasal dari konsumsi rumah tangga. Jika kita mengubah kebiasaan konsumsi kita, ini juga akan berdampak drastis pada jejak lingkungan kita."

Ilustrasi belanja online. (Shutterstock)

Ketika Anda melihat dampak konsumen berdasarkan tempat tinggal mereka, para peneliti menemukan sebuah pola: semakin kaya suatu negara, semakin banyak konsumsi penduduknya, dan semakin besar dampak setiap orang dari negara itu terhadap planet ini. Makanan sangat penting di sini. Negara kaya makan lebih banyak daging, produk susu, dan makanan olahan, yang berdampak besar pada sumber daya tanah dan air.

Dalam analisis para peneliti, AS adalah yang terburuk dalam hal emisi gas rumah kaca per kapita, dengan jejak karbon setara 18,6 ton CO2. Luksemburg berada di urutan kedua dengan 18,5 ton, diikuti oleh Australia dengan 17,7 ton. Sebaliknya, jejak karbon per kapita Tiongkok hanya 1,8 ton CO2, dan rata-rata global adalah 3,4 ton.

Jika kita terapkan pada skala nasional di Indonesia, bisa disimpulkan bahwa semakin kayak seseorang di negeri ini maka kemungkinan akan semakin besar emisi karbon yang dihasilkannya. Sebagai contoh, pada Sabtu lalu, di hari pernikahan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, pada Sabtu lalu, banyak pesawat jet pribadi yang lalu lalang ke Solo. Emisi karbon dari jet pribadi ini adalah yang terbesar dibanding kendaraan apa pun per orangya.

Rosa Isabel Rodrigue dan dua rekannya dari Instituto Superior de Gestao, Lisbon, Portugal, pernah menulis artikel opini di jurnal Frontiers in Psychology pada 2021 dengan mengulas berbagai studi soal pembelian impulsif. Mereka mengutip bahwa pembelian impulsif dipelajari dari beberapa perspektif, yaitu: (i) proses rasional; (ii) sumber daya emosional; (iii) arus kognitif yang muncul dari teori penilaian sosial; (iv) komunikasi persuasif; (v) dan pengaruh iklan terhadap perilaku konsumen (Malter et al., 2020).

"Penyebab perilaku impulsif dipicu oleh dorongan yang tak tertahankan untuk membeli dan ketidakmampuan untuk mengevaluasi konsekuensinya. Meskipun menyadari efek negatif dari membeli, ada keinginan besar untuk segera memenuhi kebutuhan Anda yang paling mendesak (Meena, 2018)," tulis mereka dalam opini tersebut.

Pembelian impulsif dalam perilaku konsumen telah dipelajari sejak tahun 1940-an, karena mewakili antara 40,0 dan 80,0% dari semua pembelian. Jenis pembelian ini menuruti alasan-alasan non-rasional yang ditandai dengan kemunculan tiba-tiba dan kepuasan (dalam) antara tindakan pembelian dan hasil yang diperoleh (Reisch dan Zhao, 2017). Aragoncillo dan Orús (2018) juga menyebutkan bahwa persentase penjualan yang cukup besar berasal dari pembelian yang tidak direncanakan dan tidak sesuai dengan produk yang dituju sebelum masuk ke toko.

Menurut Burton dkk. (2018), pembelian impulsif terjadi ketika ada keinginan emosional yang tiba-tiba dan kuat, yang muncul dari perilaku reaktif yang ditandai dengan kontrol kognitif yang rendah. Kecenderungan untuk membeli secara spontan dan tanpa refleksi ini dapat dijelaskan dengan adanya kepuasan langsung yang diberikan kepada pembeli (Pradhan et al., 2018).

Baca Juga: Agar Belanja Online Lebih Ramah Lingkungan, Berikut Cara yang Bisa Dilakukan

Baca Juga: Dari Tote Bag Hingga Bioplastik, Mana Kantung Belanja yang Lebih Ramah Lingkungan?