Menelisik Perilaku Konsumsi Impulsif dan Dampaknya terhadap Lingkungan

By Utomo Priyambodo, Kamis, 15 Desember 2022 | 14:00 WIB
Ilustrasi berbelanja di toko ritel. (iStock)

Nationalgeographic.co.id—Pemenuhan gaya hidup, bukan kebutuhan hidup, telah menciptakan pola perilaku konsumsi impulsif di tengah masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Kemudahan untuk membeli barang, baik dengan kartu kredit mapun debit, bahkan bisa juga lewat beberapa klik di ponsel pintar, telah membuat perilaku konsumtif semakin menyebar dan marak menjangkiti banyak orang.

Istilah "impulse buying" atau pembelian impulsif kemudian menjadi populer dan umum dipraktikkan, terutama dalam masyarakat urban. Istilah “impulse buying” merupakan bagian dari salah satu perilaku konsumen di mana ketika seseorang telah melakukan keputusan pembelian yang sebelumnya tidak ia rencanakan.

Hal ini terjadi ketika konsumen secara tiba-tiba terpengaruh dengan tawaran yang ada, misal oleh tampilan suatu produk atau penawaran dengan harga yang lebih murah. "Meskipun demikian, barang yang dibeli saat “impulse buying” bisa jadi memang bagian dari kebutuhan konsumen, namun sebelumnya tidak direncanakan untuk dibeli saat itu atau bahkan hanya sekadar membeli suatu produk karena 'lapar mata' dan pengaruh promo," jelas Darmianti Razak, Dosen Manajemen Keuangan Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare, dalam sebuah tulisan di situs resmi IAIN Parepare.

Di masa pandemi, pembelian impulsif ini banyak terjadi terutawa lewat platform daring (online). Darmianti mengutip data dari Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) tahun 2021 yang mencatat adanya peningkatan belanja online sebanyak 37 persen selama masa pandemi COVID-19.

Seiring dengan meningkatnya angka tersebut, kemungkinan persentase terjadinya pembelian impulsif dari total jumlah transaksi itu tentu juga semakin tinggi. "Kecenderungan untuk memilih sesuatu dengan praktis dan bernilai tambah menjadi pendorong meningkatnya impulse buying di masa pandemi. Konsumen lebih mudah untuk terpengaruh dengan adanya tawaran diskon, gratis ongkir dan kualitas yang melekat pada produk," kata Darmianti.

Apakah tren pembelian impulsif ini juga akan terus berlanjut di era pascapandemi? Kemungkinan besar akan berlanjut dan bahkan meningkat seiring dengan berangsur pulihnya ekonomi Indonesia dan makin terbukanya akses untuk menikmati kesempatan berbelanja offline di pusat perbelanjaan di masa pascapandemi. Selain itu, didukung pula dengan daya beli konsumen yang berangsur lebih stabil di era pascapagebluk ini.

Tingkat konsumsi mayarakat jelas berpengaruh terhadap laju gerak perekonomian suatu negara. Namun, konsumsi yang berlebihan, termasuk karena perilaku konsumsi impulsif, bakal bepengaruh pada kondisi ekonomi konsumen yang bersangkutan dan juga berdampak pada lingkungan.

Jurnalis senior Peter Dockrill pernah membuat laporan untuk Science Alert bahwa, dibandingkan hal lainnya, para konsumen memberi dampak terbesar terhadap lingkungan. Dockrill menyitir sebuah studi yang terbit di Journal of Industrial Ecology pada Desember 2015 yang menyebut konsumen rumah tangga sejauh ini merupakan penguras terbesar di planet Bumi ini.

Studi ini membuat gambaran yang sangat berbeda dengan analisis dampak lingkungan yang murni berfokus pada negara tertentu. "Dengan kata lain, sebelum kita mulai menyalahkan semua negara atas keadaan planet ini, kita mungkin harus melihat kebiasaan dan permintaan kita sendiri," tulis Dockrill.

Sebelumnya ada tudingan bahwa Tiongkok dan sektor industrinya yang besar menghasilkan lebih banyak emisi karbon daripada negara-negara lain mana pun. Oleh karena itu, Tiongkok harus bertanggung jawab lebih besar atas pemasalahan lingkungan global.

"Jika Anda melihat jejak (lingkungan) berbasis konsumsi per kapita Tiongko, itu kecil," kata Diana Ivanova, peneliti dari Norwegian University of Science and Technology yang menjadi penulis utama dalam studi ini.

"Mereka menghasilkan banyak produk tetapi mereka mengekspornya. Berbeda jika Anda meletakkan tanggung jawab atas dampak tersebut pada konsumen, bukan pada produsen."

Dalam analisis studi ini, para peneliti memeriksa dampak lingkungan dari konsumen di 43 negara dan 5 wilayah lainnya di dunia. Dengan mengukur 'dampak sekunder', yakni dampak lingkungan dari produksi barang dan produk yang kita beli setiap hari, para peneliti mengatakan para konsumen bertanggung jawab atas lebih dari 60 persen emisi gas rumah kaca dunia, dan hingga 80 persen penggunaan air global.

"Kita semua suka menyalahkan orang lain, pemerintah, atau bisnis," kata Ivanova. "Namun antara 60–80 persen dampak di planet ini berasal dari konsumsi rumah tangga. Jika kita mengubah kebiasaan konsumsi kita, ini juga akan berdampak drastis pada jejak lingkungan kita."

Ilustrasi belanja online. (Shutterstock)

Ketika Anda melihat dampak konsumen berdasarkan tempat tinggal mereka, para peneliti menemukan sebuah pola: semakin kaya suatu negara, semakin banyak konsumsi penduduknya, dan semakin besar dampak setiap orang dari negara itu terhadap planet ini. Makanan sangat penting di sini. Negara kaya makan lebih banyak daging, produk susu, dan makanan olahan, yang berdampak besar pada sumber daya tanah dan air.

Dalam analisis para peneliti, AS adalah yang terburuk dalam hal emisi gas rumah kaca per kapita, dengan jejak karbon setara 18,6 ton CO2. Luksemburg berada di urutan kedua dengan 18,5 ton, diikuti oleh Australia dengan 17,7 ton. Sebaliknya, jejak karbon per kapita Tiongkok hanya 1,8 ton CO2, dan rata-rata global adalah 3,4 ton.

Jika kita terapkan pada skala nasional di Indonesia, bisa disimpulkan bahwa semakin kayak seseorang di negeri ini maka kemungkinan akan semakin besar emisi karbon yang dihasilkannya. Sebagai contoh, pada Sabtu lalu, di hari pernikahan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, pada Sabtu lalu, banyak pesawat jet pribadi yang lalu lalang ke Solo. Emisi karbon dari jet pribadi ini adalah yang terbesar dibanding kendaraan apa pun per orangya.

Rosa Isabel Rodrigue dan dua rekannya dari Instituto Superior de Gestao, Lisbon, Portugal, pernah menulis artikel opini di jurnal Frontiers in Psychology pada 2021 dengan mengulas berbagai studi soal pembelian impulsif. Mereka mengutip bahwa pembelian impulsif dipelajari dari beberapa perspektif, yaitu: (i) proses rasional; (ii) sumber daya emosional; (iii) arus kognitif yang muncul dari teori penilaian sosial; (iv) komunikasi persuasif; (v) dan pengaruh iklan terhadap perilaku konsumen (Malter et al., 2020).

"Penyebab perilaku impulsif dipicu oleh dorongan yang tak tertahankan untuk membeli dan ketidakmampuan untuk mengevaluasi konsekuensinya. Meskipun menyadari efek negatif dari membeli, ada keinginan besar untuk segera memenuhi kebutuhan Anda yang paling mendesak (Meena, 2018)," tulis mereka dalam opini tersebut.

Pembelian impulsif dalam perilaku konsumen telah dipelajari sejak tahun 1940-an, karena mewakili antara 40,0 dan 80,0% dari semua pembelian. Jenis pembelian ini menuruti alasan-alasan non-rasional yang ditandai dengan kemunculan tiba-tiba dan kepuasan (dalam) antara tindakan pembelian dan hasil yang diperoleh (Reisch dan Zhao, 2017). Aragoncillo dan Orús (2018) juga menyebutkan bahwa persentase penjualan yang cukup besar berasal dari pembelian yang tidak direncanakan dan tidak sesuai dengan produk yang dituju sebelum masuk ke toko.

Menurut Burton dkk. (2018), pembelian impulsif terjadi ketika ada keinginan emosional yang tiba-tiba dan kuat, yang muncul dari perilaku reaktif yang ditandai dengan kontrol kognitif yang rendah. Kecenderungan untuk membeli secara spontan dan tanpa refleksi ini dapat dijelaskan dengan adanya kepuasan langsung yang diberikan kepada pembeli (Pradhan et al., 2018).

Baca Juga: Agar Belanja Online Lebih Ramah Lingkungan, Berikut Cara yang Bisa Dilakukan

Baca Juga: Dari Tote Bag Hingga Bioplastik, Mana Kantung Belanja yang Lebih Ramah Lingkungan?

Baca Juga: Delapan Juta Ton Plastik Dibuang ke Laut Setiap Tahun 

Belanja impulsif selain memiliki muatan emosional dapat dipicu oleh beberapa faktor, antara lain: lingkungan toko, kepuasan hidup, harga diri, dan keadaan emosi konsumen saat itu (Gogoi dan Shillong, 2020). "Kami percaya bahwa pembelian impulsif dapat dirangsang oleh kebutuhan yang tidak terduga, oleh rangsangan visual, kampanye promosi dan/atau oleh penurunan kapasitas kognitif untuk mengevaluasi keuntungan dan kerugian dari pembelian tersebut," simpul Rodrigue dan rekan-rekannya.

Simpelnya, selain akibat rangsangan visual berupa iklan atau promosi produk yang tampil di toko luring ataupun di internet via ponsel dan laptop pada era modern ini, perilaku pembelian impulsif sering kali terjadi karena pembeli tidak memikirkan konsekuensi setelahnya. Ini bisa terjadi karena pembeli dalam kondisi psikologis yang buruk sehingga malas berpikir rasional.

Jadi, untuk menghindari perilaku boros akibat pembelian impulsif ini, sebelum kita membeli apa pun tanpa rencana, sebaiknya kita mengingat kembali rencana pembelian bulanan kita ataupun berpikir konsekuensinya. Selain dari sisi ekonomi atau keuangan pribadi serta keluarga, konsekuensi yang perlu kita pertimbangkan adalah dari sisi lingkungan. Adakah efek buruk terhadap lingkungan yang bisa ditimbulkan akibat pembelian atau konsumsi ini?

Untuk mendukung produk-produk berkelanjutan, Sahabat bisa menemukannya dengan klik di sini.