Ribuan tahun telah sehingga Sphinx Agung tertutup pasir sampai ke lehernya. Selama itu, terjadi evolusi dari ide dan konsep sphinx.
Evolusi ini lebih masuk akal mengingat kondisi politik Mesir selama periode Yunani. Ketika kisah Oedipus dan sphinx sedang ditulis, Mesir bukan lagi sebuah kerajaan merdeka. Saat itu, bangsa Mesir tidak kemampuan untuk memaksakan dan mengabadikan budayanya sendiri. Saat itu, mereka berada di bawah kekuasaan Persia, dengan perselisihan internal lebih lanjut.
Baca Juga: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Hilangnya Hidung Sphinx Agung Giza?
Baca Juga: Misteri Patung Sphinx, Mesir: Diduga Kembar dan Punya Ruang Rahasia?
Baca Juga: Temuan Pecahan 2 Patung Sphinx dari Makam Kuil Raja Amenhotep III
Baca Juga: Patung Sphinx dari Era Ptolemaik Ditemukan di Kuil Kom Ombo Mesir
Dampak utama dari kontrol Persia ini adalah meningkatnya kesulitan dalam mengakses pengetahuan hieroglif. Ketika sekitar tahun 454 Sebelum Masehi, Herodotus, sejarawan Yunani kuno, melakukan perjalanan ke Mesir. Dia menulis tentang sulitnya menemukan seseorang yang dapat menerjemahkan 'tulisan suci' (yaitu hieroglif).
Ini berarti bahwa bahkan orang Mesir di masa Herodotus tidak dapat dengan mudah mengakses catatan tertulis. Tidak heran jika mereka tidak dapat memulihkan makna asli makhluk mitologis sphinx. Maka, mitologi Yunani, sesuai dengan mitologi monster wanita yang ada, tidak terbantahkan pada saat itu.
Masalah lainnya adalah pandangan xenofobia orang Yunani kuno terhadap budaya lain, termasuk pada orang Mesir. Ideologi Yunani mendalami pandangan yang lebih luas tentang 'barbarisme' dan stereotip berdasarkan perspektif mereka. Sulitnya menemukan akun Mesir dan kurangnya minat pada mitologi asli Mesir, membuat orang Yunani tidak mereproduksi sphinx asli Mesir. Akhirnya, orang Yunani kuno membuat versi mereka sendiri. Alih-alih melawan kejahatan, sphinx versi Yunani justru adalah monster jahat yang menakutkan.