"Penelitian kami bukan tentang apakah orang-orang memahami evolusi. Studi ini melangkah lebih jauh dengan menganalisis penerimaan, yang diperlukan untuk mencapai pemahaman. Jika Anda tidak menerima gagasan untuk berpikir tentang suatu subjek, pemahaman Anda pasti dikompromikan," ujar Bizzo.
Menurutnya, perlu penelitian lebih lanjut. Sampel populasi yang lebih luas, terutama di negara-negara dengan keragaman agama yang lebih banyak, sangat dibutuhkan.
Baca Juga: Di Bawah Pergelangan Tangan Kita, Ada Bukti Manusia Masih Berevolusi
Baca Juga: Kajian Baru: Budaya Lebih Berperan dalam Evolusi Manusia daripada Gen
Baca Juga: Otak Monyet Mirip dengan Manusia, Tapi Punya Perbedaan Signifikan
Meski demikian, Bizzo dan rekan-rekan perisetnya berpikir bahwa studi ini telah menyingkap mitos atau asumsi umum dalam pendidikan sains. "Banyak buku teks yang tampaknya menganggap agama saja sebagai faktor terpenting saat menangani evolusi, yang menyebabkan teori Darwin ini bercampur dengan narasi Genesis," kata Bizzo.
"Studi kami menunjukkan bahwa itu salah," tegasnya.
Makalah hasil studi ini ini bertentangan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan di Eropa. Bizzo mengaitkan perbedaan tersebut sebagian dengan menggunakan jawaban biner, daripada bertanya kepada siswa seberapa benar menurut mereka sesuatu pada skala satu sampai lima.
Pendekatan mana yang lebih baik mungkin dapat diperdebatkan, tetapi Bizzo membuat poin lain yang lebih sulit untuk diperdebatkan: penting agar survei seperti ini bersifat anonim. Studi-studi sebelumnya yang menyebut nama atau identitas mungkin dipengaruhi oleh kecenderungan para pelajar untuk memberikan respons yang lebih dapat diterima secara sosial, daripada pendapat mereka yang sebenarnya, karena mereka khawatir orang-orang lain akan mengetahui apa yang mereka katakan.