Nationalgeographic.co.id—Selama ini pelajaran agama, termasuk Islam dan Kristen, dianggap sebagai faktor terbesar yang membuat banyak orang menolak teori evolusi. Namun, sebuah studi baru mengungkap hal sebaliknya.
Studi terhadap 5.500 pelajar berusia 14-16 ini telah menyelidiki faktor-faktor yang terkait dengan menerima atau menolak evolusi sebagai penjelasan keragaman kehidupan. Studi ini dilakukan di Brasil dan Italia, sehingga hasilnya mungkin tidak berlaku secara universal, tetapi menantang gagasan bahwa permusuhan terhadap bukti evolusi adalah tentang kepercayaan agama.
Makalah studi ini telah diterbitkan di jurnal PLOS ONE pada September 2022. Studi ini tidak mengidentifikasi semua faktor yang membentuk respons para pelajar terhadap teori evolusi, tetapi berangkat untuk menjawab pertanyaan apakah agama menjadi faktor dominan untuk menentang teori tersebut.
“Masyarakat konservatif seperti Brasil cenderung lebih menolak gagasan evolusioner yang diajukan Darwin dan dimasukkan dalam kurikulum sekolah,” kata Profesor Nelio Bizzo dari University of São Paulo yang menjadi penulis senior dalam makalah studi ini.
“Kami ingin menyelidiki lebih dalam benturan antara agama dan evolusi karena kami perlu mendalami mekanisme evolusi untuk memahami keanekaragaman hayati dan konservasinya. Keduanya terkait. Para pelajar akan lebih memahami akibat dari kepunahan suatu spesies, atau kepunahan lokal dan global, misalnya, jika mereka terbiasa dengan konsep seperti nenek moyang yang sama, seleksi alam, dan asal usul spesies,” papar Bizzo seperti dikutip dari IFL Science.
Untuk menilai apa yang mendorong keyakinan anti-evolusi, Bizzo dan rekan-rekan penelitinya menyelidiki respons terhadap pernyataan seperti "Organisme yang berbeda mungkin memiliki nenek moyang yang sama" dan "Pembentukan planet kita terjadi sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu."
Keduanya telah diterima oleh hierarki Gereja Katolik selama beberapa dekade, tetapi dianggap bid'ah oleh banyak denominasi Protestan yang berkembang pesat di Brasil.
Konsekuensinya, dapat diperkirakan bahwa perbedaan utama dalam respons akan mencerminkan gereja mana yang berafiliasi dengan para orang tua siswa.
Namun, penulis menemukan bahwa pada sebagian besar pertanyaan, tanggapan umat Katolik Brasil lebih dekat dengan tanggapan orang-orang Protestan Brasil daripada rekan-rekan seagama mereka di Italia.
Anehnya, respons pertanyaan terhadap komunitas-komunitas yang tampaknya serupa ternyata bisa sangat berbeda. Secara umum, para pelajar Italia jauh lebih pro-evolusi daripada orang-orang Brasil. Misalnya, 85 persen pelajar Italia mendukung pernyataan “manusia berasal dari spesies primata lain”, dibandingkan dengan 48 persen pelajar Brasil.
Namun, lebih sedikit pelajar Italia yang setuju bahwa "spesies manusia telah menghuni planet Bumi dalam 100.000 tahun terakhir" daripada orang-orang Brasil. Mungkin ini karena separuh umat Katolik Italia memilih untuk tidak menjawabnya.
Namun demikian, pola keseluruhannya adalah bahwa faktor kebangsaan dan sosiokultural seperti pendapatan orang tua dan sikap luas terhadap sains lebih penting daripada afiliasi agama.
"Penelitian kami bukan tentang apakah orang-orang memahami evolusi. Studi ini melangkah lebih jauh dengan menganalisis penerimaan, yang diperlukan untuk mencapai pemahaman. Jika Anda tidak menerima gagasan untuk berpikir tentang suatu subjek, pemahaman Anda pasti dikompromikan," ujar Bizzo.
Menurutnya, perlu penelitian lebih lanjut. Sampel populasi yang lebih luas, terutama di negara-negara dengan keragaman agama yang lebih banyak, sangat dibutuhkan.
Baca Juga: Di Bawah Pergelangan Tangan Kita, Ada Bukti Manusia Masih Berevolusi
Baca Juga: Kajian Baru: Budaya Lebih Berperan dalam Evolusi Manusia daripada Gen
Baca Juga: Otak Monyet Mirip dengan Manusia, Tapi Punya Perbedaan Signifikan
Meski demikian, Bizzo dan rekan-rekan perisetnya berpikir bahwa studi ini telah menyingkap mitos atau asumsi umum dalam pendidikan sains. "Banyak buku teks yang tampaknya menganggap agama saja sebagai faktor terpenting saat menangani evolusi, yang menyebabkan teori Darwin ini bercampur dengan narasi Genesis," kata Bizzo.
"Studi kami menunjukkan bahwa itu salah," tegasnya.
Makalah hasil studi ini ini bertentangan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan di Eropa. Bizzo mengaitkan perbedaan tersebut sebagian dengan menggunakan jawaban biner, daripada bertanya kepada siswa seberapa benar menurut mereka sesuatu pada skala satu sampai lima.
Pendekatan mana yang lebih baik mungkin dapat diperdebatkan, tetapi Bizzo membuat poin lain yang lebih sulit untuk diperdebatkan: penting agar survei seperti ini bersifat anonim. Studi-studi sebelumnya yang menyebut nama atau identitas mungkin dipengaruhi oleh kecenderungan para pelajar untuk memberikan respons yang lebih dapat diterima secara sosial, daripada pendapat mereka yang sebenarnya, karena mereka khawatir orang-orang lain akan mengetahui apa yang mereka katakan.