Indonesia Terancam Krisis Air Bersih di 2045, Pemanfaatan Embung dan Sumur Resapan Jadi Solusi

By Fathia Yasmine, Kamis, 22 Desember 2022 | 14:34 WIB
Ilustrasi krisis air bersih (DOK. Shutterstock)

Nationalgeographic.co.id – Air disebut sebagai sumber kehidupan karena memiliki peran besar dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia. Air digunakan dalam setiap kegiatan, mulai dari mandi, mencuci, memasak, hingga memenuhi kebutuhan hidrasi tubuh.

Sayangnya, di masa depan, kelangkaan air bersih diprediksi akan terjadi di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.

Mengutip dari laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2020, beberapa wilayah di Indonesia, seperti Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan akan mengalami kelangkaan atau krisis air bersih pada 2045.

Sementara di Jawa dan Bali, ketersediaan air bersih akan memasuki status langka hingga kritis di sebagian besar wilayah pada tahun tersebut. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa proporsi luas wilayah krisis air akan meningkat dari 6 persen pada 2000 menjadi 9,6 persen pada 2045.

Baca Juga: Embung Grigak Dibangun di Dusun Karang, Warga Tidak Perlu Tampung Air Hujan

Kondisi tersebut juga tecermin dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 2020. Menurut data BPS, ketersediaan air per kapita per tahun di Indonesia pada 2035 hanya akan tersisa 181.498 meter kubik.

Jumlah tersebut berkurang jauh dibanding ketersediaan air per kapita per tahun pada 2010 yang masih berada pada angka 265.420 meter kubik.

Ada beberapa hal yang membuat air bersih menjadi langka. Menurut laporan Panel Antar-pemerintah Tentang Perubahan Iklim (IPCC), perubahan iklim yang sudah tidak terkendali menjadi salah satunya.

 Tidak menentunya musim membuat siklus air di Bumi berubah sehingga kekeringan berkepanjangan terjadi di sejumlah wilayah. Selain disebabkan oleh perubahan iklim, krisis air juga dipicu oleh meningkatnya kebutuhan air yang tidak diimbangi dengan upaya penyediaan suplai air secara berkelanjutan. 

Pada 2050, jumlah penduduk bumi diperkirakan bertambah menjadi 9,4 miliar sampai 10,2 miliar jiwa. Dengan pertambahan tersebut, kebutuhan air diperkirakan meningkat 20 persen dari 4.600 kilometer kubik menjadi 5.500 sampai 5.000 kilometer kubik.

Masalahnya, dari total jumlah air di dunia, survei Geologi Amerika Serikat (USGS) menyebutkan bahwa sebanyak 96,5 persennya adalah air laut. Sisanya adalah air asin (saline water) sebesar 0,9 persen dan air tawar 2,5 persen. 

Baca Juga: Sepanjang 2021 Sebagian Besar Wilayah Dunia Lebih Kering dari Biasanya

Dari air tawar itu, hanya air permukaan sebesar 1,2 persen dan air tanah sebesar 30,1 persen yang dapat digunakan manusia. Sebanyak 68,7 persen sisanya tersimpan dalam gletser dan bongkahan es.

Penggunaan air tanah menjadi praktik yang banyak ditemukan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Akan tetapi, pemakaian air tanah dinilai akan membawa banyak masalah terhadap kelestarian lingkungan.

Dilansir dari Ground Water, penyedotan air tanah yang berlebihan tanpa pengawasan dapat mengakibatkan penurunan tanah hingga kontaminasi saline water di sekitar area pantai. 

Untuk menyiasati penggunaan air tanah yang berlebih, air laut bisa diolah menjadi air bersih melalui desalinasi. Namun, belum semua negara memiliki teknologi untuk melakukan hal tersebut. 

Oleh sebab itu, diperlukan upaya lain untuk dapat melestarikan ketersediaan air bersih di masa depan. Coca-Cola Foundation Indonesia (CCFI) menjadi salah satu pihak swasta yang bekerja sama dengan perusahaan dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah konservasi air bersih.

Baca Juga: Bagaimana Mengklasifikasikan Seluruh Ekosistem di Planet Bumi?

Tiga upaya konservasi air

CCFI berinisiatif melakukan tiga program konservasi air, yakni melalui pembangunan embung, pembuatan sumur resapan air, serta program air perpipaan (master meter).

Sebanyak tujuh embung telah dibangun oleh CCFI bersama dengan lembaga masyarakat di wilayah Jawa dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Lokasi pembangunan embung menyasar pada area yang rentan dilanda kekeringan akibat curah hujan rendah, serta memiliki tekstur tanah yang berbatu atau bertekstur sehingga sulit menyerap air.

Beriringan dengan pembuatan sejumlah embung, CCFI juga menginisiasi pembangunan 5.000 sumur resapan di area Jawa dan Sumatera. Sumur resapan dapat kembali menyerap air hujan ke dalam tanah sehingga mencegah banjir serta meningkatkan muka air tanah.

Selain itu, CCFI juga bekerja sama dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) untuk melaksanakan program air perpipaan (master meter) di area masyarakat berpenghasilan rendah di Medan, Sumatera Utara.

Jaringan master meter juga ikut disediakan di daerah Surabaya, Jawa Timur. Ketiga program tersebut diharapkan mampu membantu masyarakat sekitar dalam mencegah kelangkaan air.

Untuk mengetahui lebih banyak tentang ketiga program tersebut, Anda dapat mengikuti perjalanan tim National Geographic Indonesia ke lokasi-lokasi tempat program tersebut diselenggarakan melalui kanal YouTube National Geographic Indonesia di sini.