Nationalgeographic.co.id—Lato-lato bukanlah permainan eksklusif yang hanya ada di Indonesia. Mainan ini juga pernah menjadi tren di banyak negara, termasuk di Amerika Serikat.
Mainan ini punya banyak nama atau julukan. Ada yang menyebutnya "yo-yo newton", "klicka", klackers", "clackers", "klik-klaks", "whackers", "bangers", "knockers", atau lainnya. Apa pun namanya, mainan ini sama-sama terdiri atas dua bola plastik atau bahan lain yang keras yang terhubung ke sebuah cincin dengan seutas tali.
Cara memainkannya adalah dengan mengayunkan kedua bola itu sehingga keduanya saling memukul dan mengeluarkan suara. Ada bunyi yang khas ketika dua bola itu saling berbenturan secara berturut-turut.
Ini adalah jenis suara yang membuat para orang tua marah. Namun, ini juga adalah jenis suara yang membuat masa kanak-kanak berharga, menurut laporan The Washington Post pada Oktober 1990.
Pada masa itu, dari sudut pandang guru di Amerika Serikat, mainan ini adalah bola plastik kecil dari neraka. Bahkan, sejumlah kepala sekolah setempat telah melarang mainan ini masuk ke sekolah-sekolah dasar.
Dalam enam bulan terakhir, ditarik ke belakang dari Oktober 1990, toko-toko di Museum Udara dan Luar Angkasa Smithsonian Institution dan Museus Sejarah Amerika telah menjual 12.000 lato-lato asli dengan harga sekitar Rp70 ribu per mainan.
Fascination Toys and Gifts, perusahaan di Seattle yang membuat lato-lato, telah menjual lebih dari 850.000 mainan ini dalam empat tahun. Para pedagang kaki lima di Washington kemudian menawarkan mainan tiruan berwarna merah muda cerah, hijau, dan kuning yang lebih murah, harganya hanya sekitar Rp18 ribu.
Dari sudut pandang anak-anak, mainan ini seolah sempurna: berwarna cerah, bergerak cepat, dan berbunyi nyaring. Dari sudut pandang orang dewasa: mainan ini berisik dan mengganggu, apalagi jika dimainkan dan dibunyikan terus-menurus.
Carolyn Preston, kepala Bunker Hill Elementary di 14th Street and Michigan Avenue NE, adalah salah satu orang dewasa AS yang membenci mainan tersebut. "Oh ya!" keluh kepala sekolah dasar itu.
"Apa pun yang dihasilkan, 'Kebisingan!' -- mereka melakukannya," kata Preston tentang murid-muridnya. Tetapi ketika anak-anak pertama kali muncul membawa mainan itu di aula sekolahnya pada hari Senin lalu, dia berkata, "Biarlah ini menjadi hari terakhir."
Konon, lato-lato adalah mainan edukasi, yang secara ajaib memberi penggunanya pemahaman tentang dua hukum gerak Newton. Yakni soal benda yang bergerak cenderung tetap bergerak, dan untuk setiap tindakan ada reaksi yang sama dan berlawanan.
Baca Juga: Lato-lato, Senjata Koboi Argentina, dan Kekacauan Sosial akibatnya
Baca Juga: Catatan Rahasia Isaac Newton tentang Piramida dan Prediksi Hari Kiamat
Baca Juga: Bukan Alat Ramalan, Kartu Tarot Hanya Kartu Mainan di Zaman Kuno
Namun, bagi anak-anak yang menggunakannya, daya tarik mainan ini jauh dari kepentingan pendidikan. Hal itulah yang membuat banyak guru dan kepsek melarang murid-murid membawa mainan ini ke sekolah.
"Mereka membuat keributan," protes Dabney Shannon, warga Washington berusia 8 tahun yang tak setuju dengan larangan itu. Dabney bersekolah di Meyer Elementary di 11th and Clifton streets NW, sebuah sekolah yang melarang lato-lato.
"Kamu bawa masuk, mereka akan mengambilnya dan membuangnya ke tempat sampah," katanya di luar sekolah sambil mendemonstrasikan teknik yang benar memainkan mainan tersebut
Mainan yang kini mengganggu Preston dan orang-orang seumurannya itu bukanlah benda baru bagi mereka. Mainan itu justru sangat diingat Preston karena pernah menjadi tren juga di AS pada awal tahun 70-an.
"Aku pernah melihatnya sebelumnya," kata Preston. "Siapa yang menabur benih, maka ia yang akan menuai hasilnya."
Dulu sewaktu muda, generasi Preston lah yang memainkan lato-lato hampir tanpa henti sehingga mengganggu orang-orang tua. Kini dialah yang terganggu oleh anak-anak yang memainkan mainan tersebut.