Menelusuri Fakta Transgender Bukanlah Sebuah Penyakit Mental

By Hanny Nur Fadhilah, Kamis, 29 Desember 2022 | 15:00 WIB
Transgender tak lagi diakui sebagai gangguan kesehatan mental oleh WHO. (Getty Images)

Nationalgeographic.co.id—Masalah kesehatan transgender tidak lagi diklasifikasikan sebagai gangguan mental dan perilaku di bawah perubahan besar pada manual diagnosis global Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO). 

Seorang ahli Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan sekarang memahami transgender sebenarnya bukan kondisi kesehatan mental. Diagnosis yang diperbarui yang disebut ICD-11, ketidaksesuaian gender didefinisikan sebagai ketidaksesuaian yang ditandai dan terus-menerus antara jenis kelamin yang dialami seseorang dan jenis kelamin yang ditetapkan. Pada versi sebelumnya, ICD-10 dianggap sebagai gangguan identitas gender, pada bab berjudul gangguan mental dan perilaku.

Dr Lale Say, seorang ahli kesehatan reproduksi di WHO, mengatakan, "Itu dikeluarkan dari gangguan kesehatan mental karena kami memiliki pemahaman yang lebih baik bahwa ini sebenarnya bukan kondisi kesehatan mental, dan membiarkannya menimbulkan stigma."

"Jadi untuk mengurangi stigma, sekaligus memastikan akses ke intervensi kesehatan yang diperlukan, ini ditempatkan di bab yang berbeda," sambungnya dikutip BBC.

Mengomentari revisi tersebut, Graeme Reid, direktur hak-hak lesbian, gay, biseksual, dan transgender di kelompok kampanye Human Rights Watch, mengatakan bahwa perubahan tersebut akan memiliki efek pembebasan pada orang-orang transgender di seluruh dunia.

Penghapusan gangguan identitas gender oleh WHO dari bab diagnostiknya atau tidak lagi mengklasifikasikan transgender sebagai penyakit mental telah mengakibatkan lebih dari 50 organisasi interseks menandatangani pernyataan bersama mengutuk WHO karena menyebut variasi dalam perkembangan seks sebagai gangguan perkembangan seksual.

Di beberapa negara, termasuk Jepang, individu memerlukan diagnosis kesehatan mental untuk membuat perubahan yang diakui secara hukum pada jenis kelamin mereka.

Penelitian Identitas Transgender Bukan Gangguan Mental

Dalam studi baru, yang diterbitkan di jurnal The Lancet Psychiatry, para peneliti menyelidiki apakah tekanan dan disfungsi yang terkait dengan identitas transgender merupakan hasil dari penolakan dan stigmatisasi sosial atau bagian yang melekat dari menjadi transgender.

Mengalami kesusahan dan disfungsi sering dianggap sebagai ciri yang menentukan memiliki gangguan kesehatan mental, menurut penelitian tersebut. Namun faktor lain juga bisa menyebabkan perasaan tersebut, termasuk mengalami penolakan atau stigmatisasi.

Para peneliti mewawancarai 250 orang transgender di Mexico City. Orang-orang dalam penelitian tersebut melaporkan pada usia berapa mereka pertama kali menyadari memiliki identitas transgender, serta pengalaman tekanan psikologis, penolakan sosial, kesulitan berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, dan kekerasan, menurut penelitian tersebut.

Para peneliti menemukan bahwa 76 persen peserta dilaporkan mengalami penolakan sosial, dan 63 persen dilaporkan menjadi korban kekerasan akibat identitas gender mereka. Dalam banyak kasus, penolakan sosial dan kekerasan terhadap individu transgender terjadi dalam keluarga.

“Frekuensi tindakan seperti itu terjadi di dalam keluarga peserta sendiri sangat mengganggu," tulis para peneliti.

Dengan menggunakan analisis statistik, para peneliti menemukan bahwa penolakan dan kekerasan sosial merupakan indikator kuat bahwa seorang transgender akan mengalami tekanan dan disfungsi. Memiliki identitas transgender, di sisi lain, bukanlah prediktor stres atau disfungsi, menurut temuan mereka.

"Temuan kami mendukung gagasan bahwa tekanan dan disfungsi mungkin merupakan hasil dari stigmatisasi dan penganiayaan, bukan aspek integral dari identitas transgender," kata Rebeca Robles,peneliti di Institut Psikiatri Nasional Meksiko dan penulis utama studi tersebut.

Dengan kata lain, kesusahan dan disfungsi yang dilaporkan oleh individu transgender dalam penelitian ini lebih mungkin disebabkan oleh perlakuan prasangka.

"Studi ini menyoroti perlunya kebijakan dan program untuk mengurangi stigmatisasi dan viktimisasi orang dengan identitas transgender, kata Robles. Penghapusan diagnosis transgender dari klasifikasi gangguan jiwa dapat menjadi bagian yang berguna dari upaya tersebut," katanya.

Dilansir Healthline, komunitas LGBT menghadapi banyak masalah kesehatan serius. Para ahli mengatakan stres dan kurangnya perawatan kesehatan menyebabkan lebih banyak penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan penyakit lain untuk orang lesbian, gay, biseksual, dan transgender.

Baca Juga: Bagi Komunitas Transgender Indonesia, Agama Bisa Jadi Sumber Toleransi

Baca Juga: Genderqueer, Ketika Seseorang Tidak Merasa Sebagai Pria Ataupun Wanita

Baca Juga: Sarat Kontroversi Anti-LGBTQ, Nama Teleskop Baru NASA Diprotes

Baca Juga: Mengapa Warga Tega Merisak Waria?

Dalam komunitas LGBT, stigmatisasi ini dapat menyebabkan berbagai jenis masalah kesehatan kronis. Komunitas LGBT juga mengalami tingkat yang lebih tinggi dari masalah kesehatan lain yang kurang terlihat, seperti tekanan darah tinggi dan kecacatan yang lebih awal, menurut laporan Kaiser Family Foundation Research baru-baru ini.

Selain itu, orang dewasa LGBT menghadapi lebih banyak tantangan dalam mendapatkan perawatan kesehatan. Stres dan kecemasan yang dipicu oleh diskriminasi adalah kemungkinan penyebabnya, kata banyak ahli.

Tekanan ini dapat terjadi di berbagai bidang, seperti mendengar tentang pertarungan hukum LGBT yang terus-menerus, diskriminasi di tempat kerja, atau ditolak mendapatkan perawatan kesehatan.

"Ada stres minoritas," kata Gilbert Gonzales, asisten profesor di Departemen Kebijakan Kesehatan di Fakultas Kedokteran Universitas Vanderbilt. “Dan itu di atas stres sehari-hari. Ada juga banyak variasi dalam komunitas LGBT.”